Pages

Politik untuk Kemanusiaan

Akhir-akhir ini, nurani kebangsaan kita terusik. Laku para politisi bak akrobatik. Seperti senjata, politk dijadikan alat menyandera lawan. Seperti juga produk, atas nama rakyat, politik diperjualbelikan.

Kasus Skandal Bank Century menguap, membentuk power sharing dengan nama Sekretariat Gabungan. Mafia Hukum dan Mafia Pajak diakhiri drama voting yang sebelumnya telah disandera dengan ancaman pemotongan jabatan (baca : reshuffle) atau iming-iming kursi.

Realitas

Terbaru, rakyat bagai ditampar oleh rencana pembangunan gedung baru DPR yang rancangannya saja menghabiskan dana Rp. 14,5 miliar. Padahal angka kemiskinan masih sangat besar, 30 persen atau labih dari 70 juta jiwa dari total penduduk Indonesia (versi PBB dengan pendapatan dibawah Rp. 18.000/hari).

Sementara di sisi lain, kinerja DPR nihil. Sepanjang tahun hanya diisi plesiran dengan term studi banding. Dari 70 drfat RUU yang harus diselesaikan tiap tahunnya, hanya 14 yang beres.

Rancangan bangun politik Indonesia sejak negeri ini digagas oleh para founding father, belum menemukan ruang makna yang baku. Politik yang satu paket dengan kekuasaan tak lebih dari sebuah prestise akan kuasa aktualisasi diri sebagaiamana teori motivasi yang lahir dari rumusan Abraham Maslow.

Oleh Maslow, manusia manusia dikatakan akan mencapai titik kepuasan ketika semua hal tersebut terealisasi. Dan tingkatan tertinggi dari tujuan hidup manusia adalah aktualisasi diri.

Oleh sebagian besar pelakunya, politik dianggap sebagai satu medan aktualisasi yang hampa subtansi. Sepintas, hal ini dapat kita baca dari laku para politisi yang mengkristal menjadi opini public. Politik itu kotor, demikian sering kita dengar masyarakat apatis terhadap politik dan para pelakunya.

Tentu suatu keresahan dengan stigma negative tersebut, bahwa masih ada poitisi langka yang tulus bekerja untuk rakyat. Tidak selalu politik itu kotor. Menjadi penting memurnikan kembali makna politik dengan pendekatan universal. Redefinisi tentang Negara dan politik, lahir dari dimensi ruang dan waktu yang diametral.

Politik lahir dari bahasa Yunani, yaitu Politeia atau politicos yang berakar dari kata "polis". Kurang lebih dapat diterjemahkan dengan kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak bahasa menerjemahkan Politeia sebagai Negara (bahasa Inggris : The State), termasuk bahasa Belanda (De staat) dan bahasa Jerman (Der Staat).

Konsep politeia dalam bahas Yunani kuno dianggap sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai masyarakat'.

Memotret pandangan Plato tentang Negara ideal. Plato, filusuf Yunani yang banyak mengilhami praktek politik modern, 5 abad SM telah membuat sebuah rumusan tentang keadilan (justice) dalam negara idea (idea state) , yaitu Negara yang menjunjung tinggi keadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya. Salah satu ciri negara ideal menurut Plato adalah melayani kebutuhan dasar manusia dalam rangka membangun kualitas kemanusiaan.

Islam dan Politik

Dari makna politik sebagaimana dijelaskan di atas, berarti bahwa relating to a citizen, kata politik yang berakar kata polis yang berarti kota tersebut, dalam bahasa Al Qur'an dikenal dengan kata Al Madinah dengan segala variabel negara yang ada di dalamnya. Ibnu Khaldun di dalam Mukaddimahnya menegaskan bahwa kota merupakan ciri kemajuan (hadharah). Menurut Ibnu Khaldun, setiap kedaulatan membutuhhkan kota dan dituntut untuk menguasainya. Alasannya karena kota dapat melindungi kedaulatan untuk stabilitas masyarakat.

Lebih jauh, politik dalam Islam merupakan derivan dari bahasa Arab, siyasah dari kata saasa yang artinya memimpin, memerintah, mengatur, melatih, dan manajemen (Farid Nu’man : 2009). Imam Nawawi Rahimahulah mengatakan tentang politik (siyasah) yaitu menegakkan atau menunaikan sesuatu dengan apa yang bisa memperbaiki sesuatu itu (Al Minhaj, 6/316).

Secara lebih eksplisit, Ibnu Taimiyyah atau Al-Mawardi merestriksi politik dalam bentuk tindakan yang harus legitimate dari nash. Oleh karena itulah ada kaidah-kaidah syari'ah yang dipenuhi dalam aktivitas politik. Inilah yang menyebabkan perspektif politik dalam Islam memiliki dimensi moral yang sangat kuat.

Kejujuran tak dapat dipungkiri adalah nilai universal yang menempatkan moral keberagamaan dalam semua aktivitas politik. Al-Qur'an telah memberikan sinyalemen "Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan" (Q. S. Ash-Shaff: 3).

Pandangan-pandangan diatas mereduksi tindakan politik yang penuh rekayasa dengan menggunakan kekuasaan politik dan mengindikasikan perbuatan yang menyelisihi nilai kejujuran. Sering berakibat pada lahirnya argumentasi dipenuhi term apologetik, sehingga subtansi politik menjadi absurd dan terjadi kamuflase dalam bernegara. Politik panggung sandirwara, menyajikan tontonan penuh intrik hampa akan makna.

Kerancuan yang menyebabkan timbulnya praktek politik meyimpang, terjadi karena bebagai faktor. Pertama, disorientasi 'pengertian politik'. Misalnya mengkooptasi makna politik pada sekedar cara mencapai tujuan, cukup sampai disitu. Sebagaimana di ajarkan kelas-kelas ilmu politik di universitas, politik tidak lagi dipandang secara filosofis.

Kedua, Persepsi yang salah tentang subtansi politik. Ketika politik dipersespsi sebagai pekerjaan, pada akhirnya orang-orang akan berlomba dengan berbagai cara demi meraih tampuk kekuasan politik dan disana mereka akan bekerja, memenuhi tuntutan kebutuhan material.

Ketiga, system perpolitikan yang masih absurd dan multi tafsir. Ketidak jelasan jenis kelamin system politik yang dianut, melahirkan kebingungan. Keempat, terpengaruh oleh sejarah politik di masa lalu. Ada semacam political traumatic sehingga yang terjadi adalah saling balas dendam antar berbagai partai yang mewakili ideology poitiknya masing-masing.

Kelima, heterogenitas ideology politik. Merupakan sebuah kenyataan, setiap partai politik lahir, tumbuh dan bergerak dari fundamen ideology politik beragam.

Ke enam, kekuatan politik global. Bahwa proses politik yang terjadi di dalam suatu Negara tidak pernah lepas dari kepentingan global. Maka pemegang kekuasaan (baca: politisi), harus mampu memetakan kekuatan politik global dengan memegang teguh nilai-nilai kedaulatan sebagai suatu bangsa.

Politik Untuk Kemanusiaan

Melihat realitas politik di Indonesia, maka perlu adanya mainstream baru dalam berpolitik. Gagasan yang mengembalikan makna filosofis dan spiritual politik dalam prakteknya. Politik berbasis nilai dan subtansi. Elaborasi falsafah politik moral dan politik Islam lebih lanjut menjadi gagasan menarik dalam kerangka humanisme.

Dalam hal ini politik untuk kemanusiaan menjadi ide orisinil dan oase di tengah sahara demokrasi Indonesia. Sebagaimana teori politik yang digagas oleh Plato dan para filusuf termasuk Ibnu Khaldun, juga praktek politik yang djalankan oleh Rasulullah Saw serta empat khulafaur rasyidin.

Ragam tipologi politik tersebut dari gagasan ke aksi telah terbukti memanusiakan manusia. Politik pun mampu menyatu dengan niai-nilai agama sebagai penopang utama dan frame moralitas.

Politik tidak bisa dipisahkan dengan elemen kehidupan lainnya, dalam hal ini adalah kehidupan ekonomi. Karena bentuk pemberdayaan politik sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw maupun beberapa pemimpin pada generasi selanjutnya –misalnya Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Al Makmun, Harun Al Rasyid hingga Sulaiman Al Qanuni di Turki-, tidak memisahkan ekonomi dalam kehidupan politik kenegaraan. Pun praktek politisi yang menjadikan politik sebagai komoditas sehingga mengaburkan makna politik, juga tidak terlepas dari motif ekonomi.

Olehnya itu, pemberdayaan ekonomi dalam kerangka politik merupakan bentuk bottom up dari upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berkaca pada teori kapitalis Adam Smith yang menjadi landas pacu rusaknya system kenegaraan dan politik saat ini, serta jatuhnya ekonomi dalam kelompok kapitalis, tidak terlepas dari teori kebebasan tanpa campur tangan dari pemerintah. Tantangan ini juga perlu dirumuskan solusinya.

Prof. Miriam Budiarjo, ilmuwan politik Indonesia , menguraikan bahwa politik merupakan sarana untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation), dari sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kekuasaan diperlakukan baik untuk melakukan kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.

Senada dengan Miriam, Prof. Kunto Wijoyo dalam tafsir kepemimpinan profetik, menegaskan bahwa salah satu karakter pemimpin profetik adalah membawa misi humanisasi. Yaitu amar ma'ruf atau menyeru manusia kepada kebaikan.

Dalam perspektif kemanusiaan, inilah yang diamini oleh Rasulullah Saw sebagai sebaik-baik manusia. Seperti dinukil di dalam hadits "khairun nas 'anfauhum linnas yang berarti sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama", termasuk memberi manfaat dari panggung politik.

*Penulis adalah analis Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute dan Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)


Jusman Dalle

Sumber : http://www.phylopop.com

No comments:

Post a Comment