Pages

Puasa dan Dimensi Pembangunan Politik Kemanusiaan

Oleh Yahdil Abdi Harahap


Puasa Ramadhan memang merupakan ibadah vertikal (mahdlah). Tapi, dimensinya juga sarat dengan nuansa horisontal. Dimensi ini pun tidak hanya sosial, tapi juga menyentuh esensi kehidupan politik, baik sebagai individu ataupun masyarakat bahkan negara.

Untuk menelusuri dimensi pembangunan politik yang ada dalam ibadah puasa itu, kita perlu menelaah landasan dasar puasa itu sendiri. Dalam hal ini kita dapat mencatat bahwa puasa -- secara harfiah -- bermakna menahan diri dari keinginan (nafsu) jasmani dan ruhani, minimal sejak terbit fajar matahari hingga terbenam. Makna harfiah ini sebenarnya merupakan konsep bagaimana membangun pengendalian diri manusia. Pengendalian menjadi hal krusial sejalan dengan kecenderungan manusia yang senantiasa mengekspresikan keinginan atau nafsunya tanpa batas, setidaknya melampau batas atau tak senang dibatasi. Sementara, bentuk ekspresi seperti ini sering mengakibatkan ekses negatif bagi dirinya sendiri, disamping kemungkinan bagi yang lain sesama manusia atau makhluk lainnya: binatang, tetumbuhan dan lingkungan fisik. Melalui Ramadhan yang bermasa 29 atau 30 hari, Allah -- sebagai bentuk konkret kasih-sayang-Nya -- memberikan jalan: memproses pembentukan pengendalian diri agar efektif.

Kini, sebuah urgensi yang cukup penting untuk kita renungkan bersama adalah bagaimana merefleksikan esensi pengendalian dalam tataran aksi publik, baik sebagai penguasa dari sektor manapun, juga masyarakat sebagai rakyat.

Pengendalian yang kini sangat kita butuhkan adalah bagaimana semua pihak mampu menahan diri dari sikap memaksakan kehendaknya, padahal -- disadari atau tidak -- sikap itu sering melanggar etika, norma bahkan hukum yang berlaku. Dalam kaitan tragedi pengeboman Bali 12 Oktober lalu, ibadah puasa -- jika dijalankan dengan penuh keimanan -- bakal punya makna refleksif yang sungguh signifikan. Dalam tataran negara sebagai aktor, sikap pengendalian yang tumbuh karena berpuasa akan mendorong pemimpin negara itu mereview lebih dalam: sudah tepatkah mengeluarkan Perpu Anti-terorisme yang tampak tergesa-gesa itu, padahal sekitar tiga tahun lalu atau dua tahun sebelum tragedi WTC, Pemerintah sudah mengundang sekitar 20 pakar untuk membahas secara intensif tentang UU Antiterorisme? Sudah tepatkah kepala negara dan pemerintahan -- secara langsung atau tidak -- mengeluarkan instruksi agar menangkap orang yang sangat dicurigai, yakni KH Abu Bakar Ba`asyir, padahal dalihnya hanya pengakuan sepihak dari Umar Al-Faruq atau hanya berdasarkan data intelegen yang bisa jadi sangat subyektif? Juga, sudah proporsionalkah pemaksaan pemindahan Abu dari RS Muhamadiyah di Surakarta ke RS Kepolisian di Kramat Jati (Jakarta), apalagi diawali dengan pemecahan kaca pintu dan jendela sehingga mengganggu rasa kenyamanan pasien bernama Abu dan sekitarnya?

Bahkan, sekalipun saat ini mulai terkuak beberapa nama pelaku seperti Amrozy cs, Pemerintah -- melalui aparat kepolisian -- perlu mereview secara kritis: sejauh mana validitas kemungkinan sejumlah orang yang "miskin" pendidikan itu sebagai pelaku pengeboman? Dengan pertanyaan kritis ini, rezim pun perlu melebarkan analisinya tentang kemungkinan keterlibatan pihak asing.

Semua perilaku politik dan hukum terhadap warganegaranya sendiri dan itu menggambarkan emosionalitas -- karena refleksi ibadah puasa -- sangat mungkin akan muncul kesadaran baru bagi pemimpin bangsa: menunda pemberlakuan Perpu, apalagi banyak fraksi di DPR -- disamping sebagian publik -- menolaknya. Penolakan itu tak lepas dari potensi Perpu yang bakal memasung kepentingan hidup umat manusia. Dari refleksi pengendalian itu pula sangat mungkin Pemerintah -- dengan penuh kesadaran internalnya -- segera mengembalikan hak-hak Abu sebagaimana layaknya orang yang tidak tersangkut hukum. Atau -- jika tetap diproses secara hukum -- maka perlakuannya tetap mengindahkan hak dan martabat Abu sebagaimana manusia, bukan sebagai obyek yang sering diperlakukan sebagai binatang. Dan karena refleksi ibadah puasa itu pula, rezim atau aparat kepolisian semakin terang dalam menyorot dugaan atau sinyalemen keterlibatan pihak asing.

Refleksi pengendalian karena tempaan puasa akan mendorong sang kepala negara untuk membebaskan diri dari tekanan pihak manapun selama arahnya merugikan umat manusia lain, apalagi bangsanya sendiri. Dalam hal ini pemimpin bangsa akan bersikap tegar dan tegas, sekalipun sikapnya bakal menuai risiko ekonomi, misalnya. Ketegaran dan ketegasannya tak lepas dari kesadaran yang demikian mendalam bahwa ketertundukannya terhadap titah pihak asing berlawanan dengan spirit cinta dan kasih sayang antarsesama manusia. Karena itu pemaksaan diri akibat titah asing itu harus segera diakhiri.

Perubahan sikap itu relatif menggambarkan korelasi positif ibadah puasa dalam menumbuhkan rasa kemanusiaan. Jika kemampuan ini berhasil "dipoles", maka pengendalian yang memang dirancang melalui puasa akan bermanfaat, bukan hanya individu muslim yang berpuasa, tapi umat lainnya yang -- menurut kepercayaannya -- tidak diwajibkan berpuasa.

Refleksi pengendalian itu -- jika mengena kalangan lain yang kebetulan terlibat dalam skenario di balik tragedi Bali -- pun pada akhirnya akan mengubah upaya destruktifnya, apalagi hanya karena pertimbangan kekuasaan yang bersifat sangat sempit atau hanya karena ketidakrelaan melihat tampilnya kekuasaan sipil. Destruksi itu -- sekali lagi jika puasanya benar-benar dilakukan dengan penuh keimanan -- mereka akan mendorong para aktornya untuk mengubah perilakunya, bukan karena kekeliruan arah dan strateginya, tapi sebuah kondisi obyektif yang merugikan banyak pihak. Perubahan sikap yang sangat positif ini jelaslah berpotensi besar untuk memberikan manfaat bagi umat manusia tanpa memandang perbedaan agama, ras, bahkan batasan teritorial.

Makna konstruktif puasa itu pun idealnya harus terlihat pada publik sebagai rakyat. Sebuah refleksi penting yang harusnya tak boleh tiada, arus bawah pun mampu mengendalikan diri dari tindakan emosionalitasnya. Satu hal yang perlu kita uji lebih jauh, mampukah kalangan muslim sebagai rakyat biasa -- selama menjalankan ibadah puasa -- menahan diri dari aksi-aksi yang berbau vandalistik, setidaknya tidak membawa sejumlah senjata tajam yang relatif menakutkan pihak lain? Sadarkah mereka bahwa aksi-aksi yang bernuansa barbaristik itu mencoreng citra agamanya sendiri, sehingga Islam identitik dengan kekerasan?

Sejumlah pertanyaan yang bernada menggugat itu bukanlah dalam kerangka mengendorkan spirit pembelaan terhadap hak mengekspresikan keagamaan. Tapi, pembelaan yang sarat dengan simbul kekerasan justru kontraproduktif bagi agama yang dikibarkan. Dan jika kita memahami maksimal keberkahan Ramadhan, justru kita perlu memanfaatkan bulan suci ini secara maksimal. Kita perlu meyakini bahwa doa -- apalagi disampaikan selama Ramadhan dan dilakukan banyak umat -- akan didengar serius oleh Yang Maha Mendengar. Kualitas keseriusan iu tak lepas dari kelebihan Ramadhan yang memang dijanjikan Allah itu sendiri, yang memang berbeda dibanding bulan-bulan lainnya. Sebuah renungan, bagaimana sikap muslim itu sendiri, apakah akan membiarkan bulan suci ini tanpa isi, tanpa harapan ideal, atau justru sebaliknya: mengisinya dengan penuh makna, baik bagi dirinya sendiri atau saudara-saudara lainnya? Di sinilah umat itu sendiri ditantang kejihadannya dalam mengekpresikan hak-hak keagamannya.

Sebuah persoalan tampak menghadang, bagaimana jika doanya tak terkabul dan itu berarti nasib Abu atau muslim lainnya tetap dalam tekanan akibat isu terorisme? Hal ini pun mengandung hikmah yang mendalam: Allah barangkali sedang meningkatkan ujiannya. Hikmah ini -- secara langsung atau tidak -- mendorong kita untuk meningkatkan introspeksi sekaligus memperbaiki sejumlah kekeliruannya. Di sana kita saksikan spirit reformasi di balik ujian yang terus-menerus. "Janganlah putus asa, karena sikap itu tergolong sikap dan perilaku syaitan", demikian firman Allah. Berarti, kita memang harus tetap optimis, meski didera banyak cobaan. Dan melalui puasa, refleksinya cukup pas untuk menuntun kita: menjadi manusia yang bersabar dan senantiasa mampu mengendalikan diri. Refleksi ini jelaslah berpotensi strategis sebagai dimensi pembangunan politik kemanusiaan.***


Penulis adalah pengamat dan praktisi hukum

Sumber : http://www.pelita.or.id

No comments:

Post a Comment