Pages

Politik Kemanusiaan Pascatsunami

Indra J Piliang, Peneliti CSIS, Jakarta

MORATORIUM politik mestinya sudah dilakukan pascaterbentuknya pemerintahan
baru. Namun, tampaknya kalangan elite-elite politik dan pemerintahan tidak
melakukannya. Malahan, berbagai jabatan ketua umum partai-partai politik,
organisasi sosial kemasyarakatan, sampai jabatan-jabatan lainnya dicoba untuk
direbut dan dimonopoli. Sumber daya manusia Indonesia seolah terbatas, karena
sejumlah jabatan bertumpuk di satu tangan. Justru yang menjadi masalah adalah
ketika jabatan-jabatan itu memerlukan komitmen tinggi, karena beragam persoalan
organisasi yang muncul.

Pascatsunami yang merenggut lebih dari 100 ribu jiwa manusia di Indonesia
mestinya menyadarkan elite-elite politik, betapa tak berdayanya pemerintah
kalau hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Kini, seolah masyarakat mengambil
alih berbagai kerja-kerja kemanusiaan atau apa yang selama ini dikenal sebagai
Operasi Terpadu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Operasi kemanusiaan yang
sudah menjadi jampi-jampi tempelan dalam pelaksanaan Darurat Militer dan
Darurat Sipil kini benar-benar dilaksanakan oleh berbagai komponen masyarakat,
termasuk dunia internasional. Kenyataannya, pemerintah tidak bisa melakukan
proses domestifikasi atas persoalan-persoalan nasional.

Kini, kita sebagai bangsa sungguh dihadapkan dengan tujuan paling mendasar dari
politik, yakni seberapa banyak jiwa-jiwa manusia bisa diselamatkan, disentuh
dan diberikan hak-hak paling dasar sebagai manusia. Kepongahan sebagai
pemerintah atau penguasa hari ini tidak bisa lagi ditunjukkan, karena
penderitaan massal yang hadir sekarang sudah demikian tak terperikan. Bahkan
keinginan untuk menjadi pahlawan atau sinterklas pun selayaknya diurungkan,
karena tak ada yang bisa memberikan jawaban: kenapa bencana itu tak bisa
diantisipasi? Kita betul-betul telah menjadi manusia bisu dan tuli, sehingga
terpaksa hanya mengandalkan naluri kemanusiaan paling hakiki.

Kita masih beruntung memiliki banyak sekali relawan dan donatur yang
menyumbangkan apa yang masih disumbangkan. Dalam keadaan ekonomi yang masih
morat-marit, juga tingkat korupsi yang tinggi atas pengelolaan dana-dana
publik, kita masih menyaksikan adanya saling kepercayaan yang dibangun. Tak
peduli siapa pun yang meminta sumbangan, banyak sekali pihak yang langsung
mengurangi uang belanjanya demi kepentingan para korban bencana.

Kecenderungan itu dapat kita saksikan dari mengalirnya bantuan yang diberikan
masyarakat kepada lembaga yang membuka posko untuk menerima bantuan. Bahkan,
perusahaan media massa yang sebagian besar ikut membuka posko bencana dengan
membuka rekening di bank, mendapatkan simpati yang luar biasa. Sebuah media
massa berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp100 miliar, jumlah yang cukup
fantastis mengingat jangka waktu pengumpulan belum satu bulan.

Kesederhanaan politik

Kepentingan politik mestinya tidak lagi menjadi acuan dalam menggerakkan energi
positif dalam konteks kemanusiaan. Pembangunan Aceh, Nias, Nabire, Alor, dan
kawasan-kawasan bencana lainnya membutuhkan waktu lama. Mungkin untuk membangun
secara fisik tidak terlalu lama, tinggal mengajukan sejumlah dana hutang kepada
negara-negara donor. Namun yang penting adalah bagaimana melakukan rekonstruksi
atas nilai-nilai keadaban tertinggi kita, sembari membuang nilai-nilai negatif
yang hinggap di masyarakat kita. Rekonstruksi yang hendak dilakukan lebih dari
sekadar rekonstruksi fisik atau infrastruktur pembangunan.

Untuk itulah, tugas politik hari ini tidak hanya sekadar melakukan prosedur
politik yang harus dipenuhi, seperti perlunya kontrol dari lembaga legislatif
atas keseluruhan program penyelamatan yang dilakukan pemerintah. Justru yang
jauh lebih dalam lagi, yakni menegaskan identitas dan ideologi kepartaian, juga
dimensi kesederhanaan dari manusia-manusia politik. Penegasan itu diperlukan,
mengingat pamor politik selama ini identik dengan kemewahan bendawi.
Elite-elite politik dan pemerintahan haruslah memulai untuk melakukan proses
manajemen darurat kemanusiaan dalam tubuhnya sendiri.

Dari presiden sampai pegawai negeri sipil yang terendah haruslah mulai
melakukan proses efisiensi penyelenggaraan pemerintah. Tidak bisa tidak,
kesederhanaan hidup menjadi inti dari semuanya. Presiden, menteri, anggota
parlemen, dan lain-lainnya mestinya menyusun rencana dan neraca untuk dirinya
sendiri guna mengurangi dampak penghambur-hamburan anggaran negara. Tidak perlu
lagi tim-tim sirkus mengiringi kunjungan pejabat-pejabat negara ke luar negeri.
Kalau perlu, seluruh acara studi banding oleh parlemen dan pemerintah pusat dan
daerah dilarang.

Presiden harus mengeluarkan instruksi, bahkan tindakan, untuk mencegah adanya
pejabat-pejabat yang menggunakan dana-dana bantuan kemanusiaan untuk
kepentingan pribadi. Bahkan dana-dana itu juga tak etis digunakan untuk
kepentingan pemerintahan, katakanlah untuk pembelian senjata menghadapi Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Selama ini, banyak sekali kasus dana-dana pengungsi
kenyataannya hanya memperkaya sejumlah orang. Indonesia yang pernah memiliki
jumlah pengungsi terbanyak di dunia, selayaknya mulai memikirkan manajemen
bencana yang lebih rapi dan profesional.

Kesempatan sebetulnya terbuka untuk melakukannya. Di tengah begitu banyaknya
kaum politikus mengendalikan jalannya pemerintahan, justru kita juga saksikan
kian berjubelnya kaum profesional dalam arus kompetisi nasional dan
internasional. Selayaknya kaum profesional ini dilibatkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Partai-partai politik kenyataannya masih memiliki keterbatasan
kemampuan, bahkan untuk mengelola partai politiknya sendiri untuk kian modern.

Selain itu, mobil-mobil kelas satu hendaknya tak lagi digunakan oleh
pejabat-pejabat negara, BUMN, parlemen, dan lain-lain. Mestinya sikap hemat
energi dan hemat biaya dijadikan sebagai gebrakan penting di tengah momentum
bencana yang terjadi. Kalau pemerintah tidak memulainya, maka apa yang disebut
sebagai weak government and strong society akan terbentuk. Masyarakat akan
meninggalkan pemerintah, karena pemerintah terlihat tidak berdaya, lumpuh,
sekaligus angkuh ketika menjalankan tugas-tugasnya.

Masyarakat baru

Apresiasi tertinggi memang pantas diberikan kepada masyarakat. Sekali lagi,
masyarakat menunjukkan sebagai pihak yang paling berinisiatif setelah pemilu
2004. Masyarakat lagi-lagi menggerakkan seluruh potensi dirinya untuk saling
menyapa, menyentuh, juga menangis. Inilah produk mutakhir dari berbagai krisis
dan bencana yang hinggap dalam tubuh bangsa ini, yakni ketika masyarakat tumbuh
begitu percaya diri mengatasi pemerintah dan, bahkan, negara.

Dulu, pada masa otoriterisme Orde Baru, masyarakat begitu lumpuh dan tak
berdaya. Pemerintah begitu kuat, sehingga masyarakat melemah. Kini, dalam arus
transisi demokrasi dan budaya yang terjadi, masyarakat justru tumbuh menjadi
entitas paling membanggakan. Siapa pun yang ingin membangkitkan kembali rezim
otoritarian di republik ini, selayaknya berpikir seribu kali menghadapi proses
perubahan di masyarakat yang begitu baik ini.

Makanya, politik pascatsunami selayaknya ditempatkan dalam konteks pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat politik haruslah memperhitungkan kepentingan masyarakat
dalam setiap program kerjanya. Ketika sejumlah elite politik potensial
terpental dalam tubuh partai-partai politik dan organisasi sosial
kemasyarakatan, sesungguhnya terhidang sejumlah fragmen lagi: betapa masyarakat
mulai menolak elitenya. Elite mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Bahkan,
dengan banyaknya elite lokal yang dituduh telah melakukan korupsi, justru
masyarakat mulai mempreteli elitenya. Revolusi sosial yang tidak berdarah ini
telah menjadi pertanda ke arah munculnya masyarakat yang sehat.

Di satu sisi tsunami telah menghancurkan Aceh, manusia, tanah dan budayanya.
Namun di sisi lain, ada yang sedang bangkit dalam tubuh bangsa ini, yakni
kesadaran masyarakatnya. Sekalipun sebagian masih dalam konteks populisme,
belum pada bentuk kesadaran yang substantif, namun kita tinggal menunggu waktu
bagi munculnya masyarakat baru itu. Masyarakat yang sedang membangun
kekuatannya sendiri, tanpa atau dengan pemerintah. Selamat datang masyarakat
baru. Berpaculah dengan pemerintahan baru.***


Sumber : http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005011901003816

Puasa dan Dimensi Pembangunan Politik Kemanusiaan

Oleh Yahdil Abdi Harahap


Puasa Ramadhan memang merupakan ibadah vertikal (mahdlah). Tapi, dimensinya juga sarat dengan nuansa horisontal. Dimensi ini pun tidak hanya sosial, tapi juga menyentuh esensi kehidupan politik, baik sebagai individu ataupun masyarakat bahkan negara.

Untuk menelusuri dimensi pembangunan politik yang ada dalam ibadah puasa itu, kita perlu menelaah landasan dasar puasa itu sendiri. Dalam hal ini kita dapat mencatat bahwa puasa -- secara harfiah -- bermakna menahan diri dari keinginan (nafsu) jasmani dan ruhani, minimal sejak terbit fajar matahari hingga terbenam. Makna harfiah ini sebenarnya merupakan konsep bagaimana membangun pengendalian diri manusia. Pengendalian menjadi hal krusial sejalan dengan kecenderungan manusia yang senantiasa mengekspresikan keinginan atau nafsunya tanpa batas, setidaknya melampau batas atau tak senang dibatasi. Sementara, bentuk ekspresi seperti ini sering mengakibatkan ekses negatif bagi dirinya sendiri, disamping kemungkinan bagi yang lain sesama manusia atau makhluk lainnya: binatang, tetumbuhan dan lingkungan fisik. Melalui Ramadhan yang bermasa 29 atau 30 hari, Allah -- sebagai bentuk konkret kasih-sayang-Nya -- memberikan jalan: memproses pembentukan pengendalian diri agar efektif.

Kini, sebuah urgensi yang cukup penting untuk kita renungkan bersama adalah bagaimana merefleksikan esensi pengendalian dalam tataran aksi publik, baik sebagai penguasa dari sektor manapun, juga masyarakat sebagai rakyat.

Pengendalian yang kini sangat kita butuhkan adalah bagaimana semua pihak mampu menahan diri dari sikap memaksakan kehendaknya, padahal -- disadari atau tidak -- sikap itu sering melanggar etika, norma bahkan hukum yang berlaku. Dalam kaitan tragedi pengeboman Bali 12 Oktober lalu, ibadah puasa -- jika dijalankan dengan penuh keimanan -- bakal punya makna refleksif yang sungguh signifikan. Dalam tataran negara sebagai aktor, sikap pengendalian yang tumbuh karena berpuasa akan mendorong pemimpin negara itu mereview lebih dalam: sudah tepatkah mengeluarkan Perpu Anti-terorisme yang tampak tergesa-gesa itu, padahal sekitar tiga tahun lalu atau dua tahun sebelum tragedi WTC, Pemerintah sudah mengundang sekitar 20 pakar untuk membahas secara intensif tentang UU Antiterorisme? Sudah tepatkah kepala negara dan pemerintahan -- secara langsung atau tidak -- mengeluarkan instruksi agar menangkap orang yang sangat dicurigai, yakni KH Abu Bakar Ba`asyir, padahal dalihnya hanya pengakuan sepihak dari Umar Al-Faruq atau hanya berdasarkan data intelegen yang bisa jadi sangat subyektif? Juga, sudah proporsionalkah pemaksaan pemindahan Abu dari RS Muhamadiyah di Surakarta ke RS Kepolisian di Kramat Jati (Jakarta), apalagi diawali dengan pemecahan kaca pintu dan jendela sehingga mengganggu rasa kenyamanan pasien bernama Abu dan sekitarnya?

Bahkan, sekalipun saat ini mulai terkuak beberapa nama pelaku seperti Amrozy cs, Pemerintah -- melalui aparat kepolisian -- perlu mereview secara kritis: sejauh mana validitas kemungkinan sejumlah orang yang "miskin" pendidikan itu sebagai pelaku pengeboman? Dengan pertanyaan kritis ini, rezim pun perlu melebarkan analisinya tentang kemungkinan keterlibatan pihak asing.

Semua perilaku politik dan hukum terhadap warganegaranya sendiri dan itu menggambarkan emosionalitas -- karena refleksi ibadah puasa -- sangat mungkin akan muncul kesadaran baru bagi pemimpin bangsa: menunda pemberlakuan Perpu, apalagi banyak fraksi di DPR -- disamping sebagian publik -- menolaknya. Penolakan itu tak lepas dari potensi Perpu yang bakal memasung kepentingan hidup umat manusia. Dari refleksi pengendalian itu pula sangat mungkin Pemerintah -- dengan penuh kesadaran internalnya -- segera mengembalikan hak-hak Abu sebagaimana layaknya orang yang tidak tersangkut hukum. Atau -- jika tetap diproses secara hukum -- maka perlakuannya tetap mengindahkan hak dan martabat Abu sebagaimana manusia, bukan sebagai obyek yang sering diperlakukan sebagai binatang. Dan karena refleksi ibadah puasa itu pula, rezim atau aparat kepolisian semakin terang dalam menyorot dugaan atau sinyalemen keterlibatan pihak asing.

Refleksi pengendalian karena tempaan puasa akan mendorong sang kepala negara untuk membebaskan diri dari tekanan pihak manapun selama arahnya merugikan umat manusia lain, apalagi bangsanya sendiri. Dalam hal ini pemimpin bangsa akan bersikap tegar dan tegas, sekalipun sikapnya bakal menuai risiko ekonomi, misalnya. Ketegaran dan ketegasannya tak lepas dari kesadaran yang demikian mendalam bahwa ketertundukannya terhadap titah pihak asing berlawanan dengan spirit cinta dan kasih sayang antarsesama manusia. Karena itu pemaksaan diri akibat titah asing itu harus segera diakhiri.

Perubahan sikap itu relatif menggambarkan korelasi positif ibadah puasa dalam menumbuhkan rasa kemanusiaan. Jika kemampuan ini berhasil "dipoles", maka pengendalian yang memang dirancang melalui puasa akan bermanfaat, bukan hanya individu muslim yang berpuasa, tapi umat lainnya yang -- menurut kepercayaannya -- tidak diwajibkan berpuasa.

Refleksi pengendalian itu -- jika mengena kalangan lain yang kebetulan terlibat dalam skenario di balik tragedi Bali -- pun pada akhirnya akan mengubah upaya destruktifnya, apalagi hanya karena pertimbangan kekuasaan yang bersifat sangat sempit atau hanya karena ketidakrelaan melihat tampilnya kekuasaan sipil. Destruksi itu -- sekali lagi jika puasanya benar-benar dilakukan dengan penuh keimanan -- mereka akan mendorong para aktornya untuk mengubah perilakunya, bukan karena kekeliruan arah dan strateginya, tapi sebuah kondisi obyektif yang merugikan banyak pihak. Perubahan sikap yang sangat positif ini jelaslah berpotensi besar untuk memberikan manfaat bagi umat manusia tanpa memandang perbedaan agama, ras, bahkan batasan teritorial.

Makna konstruktif puasa itu pun idealnya harus terlihat pada publik sebagai rakyat. Sebuah refleksi penting yang harusnya tak boleh tiada, arus bawah pun mampu mengendalikan diri dari tindakan emosionalitasnya. Satu hal yang perlu kita uji lebih jauh, mampukah kalangan muslim sebagai rakyat biasa -- selama menjalankan ibadah puasa -- menahan diri dari aksi-aksi yang berbau vandalistik, setidaknya tidak membawa sejumlah senjata tajam yang relatif menakutkan pihak lain? Sadarkah mereka bahwa aksi-aksi yang bernuansa barbaristik itu mencoreng citra agamanya sendiri, sehingga Islam identitik dengan kekerasan?

Sejumlah pertanyaan yang bernada menggugat itu bukanlah dalam kerangka mengendorkan spirit pembelaan terhadap hak mengekspresikan keagamaan. Tapi, pembelaan yang sarat dengan simbul kekerasan justru kontraproduktif bagi agama yang dikibarkan. Dan jika kita memahami maksimal keberkahan Ramadhan, justru kita perlu memanfaatkan bulan suci ini secara maksimal. Kita perlu meyakini bahwa doa -- apalagi disampaikan selama Ramadhan dan dilakukan banyak umat -- akan didengar serius oleh Yang Maha Mendengar. Kualitas keseriusan iu tak lepas dari kelebihan Ramadhan yang memang dijanjikan Allah itu sendiri, yang memang berbeda dibanding bulan-bulan lainnya. Sebuah renungan, bagaimana sikap muslim itu sendiri, apakah akan membiarkan bulan suci ini tanpa isi, tanpa harapan ideal, atau justru sebaliknya: mengisinya dengan penuh makna, baik bagi dirinya sendiri atau saudara-saudara lainnya? Di sinilah umat itu sendiri ditantang kejihadannya dalam mengekpresikan hak-hak keagamannya.

Sebuah persoalan tampak menghadang, bagaimana jika doanya tak terkabul dan itu berarti nasib Abu atau muslim lainnya tetap dalam tekanan akibat isu terorisme? Hal ini pun mengandung hikmah yang mendalam: Allah barangkali sedang meningkatkan ujiannya. Hikmah ini -- secara langsung atau tidak -- mendorong kita untuk meningkatkan introspeksi sekaligus memperbaiki sejumlah kekeliruannya. Di sana kita saksikan spirit reformasi di balik ujian yang terus-menerus. "Janganlah putus asa, karena sikap itu tergolong sikap dan perilaku syaitan", demikian firman Allah. Berarti, kita memang harus tetap optimis, meski didera banyak cobaan. Dan melalui puasa, refleksinya cukup pas untuk menuntun kita: menjadi manusia yang bersabar dan senantiasa mampu mengendalikan diri. Refleksi ini jelaslah berpotensi strategis sebagai dimensi pembangunan politik kemanusiaan.***


Penulis adalah pengamat dan praktisi hukum

Sumber : http://www.pelita.or.id

Tragedi Kemanusiaan dan sebuah Enigma Sejarah

Oleh : Syaiful Harun
Pemerhati Masalah Sosial Politik tinggal di Padang
Padang Ekspres • Senin, 18/02/2013 12:03 WIB • 709 klik
Ibnu Khaldun, filosof besar Islam pernah berucap bahwa ‘Sejarah adalah menyangkut peradaban manusia’.  Dilain waktu George Santayana, seo­rang filosof Spanyol, mengingatkan semua anak manusia dengan  falsafah:  ‘Those who fail to learn the lessons of history are doomed to repeat them’ (barang siapa yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulang sejarah itu!).

Ucapan sangat atentif kedua filosof besar ini menjadi catatan penting, peringatan bagi sekalian manusia yang berakal budi, terutama bagi anak bangsa yang pernah mengalami masa gelap tragedi kemanusiaan menimpa negeri ini.

Sebuah nasihat lain datang dari tulisan di kuburan massal korban kekerasan di Gwangyu Korea, bahwa, ‘Sejarah kelam yang diingkari, ber­potensi untuk diulangi!’.

Peristiwa gelap dan kelam sejarah kehidupan manusia sering terjadi di negara yang dikendalikan oleh rezim otoriter.  Negara Jerman pernah di­perintah oleh Adolf Hitler, menamakan dirinya ein Fiihrer dengan ideologi politik Nazi, memerintah Jerman dengan tangan besi, tidak manusiawi.  Hitler menganggap Jerman diatas segalanya (Deutschland über alles) menjadi sabda ampuh dirinya me­naklukkan negara tetangga bahkan dunia!  Lawan-lawan politiknya, kaum sosialis, Yahudi dan Komunis dihabisi tanpa ampun.  Hitler menjadi serigala bagi orang lain (homo homini lupus).

Beberapa tempat bukti sejarah masih berdiri.  Eks kamp-kamp kon­sentrasi tempat penyekapan, pem­bantaian diberbagai tempat, seperti kamp konsentrasi Auschwitz di Po­landia, kamp konsentrasi di Bra­n­denburgische Gedenkstatten (Jerman), kamp penyiksaan di memorial Sach­senhausen dll.

Secara keseluruhan lebih dari 7 juta rakyat Jerman dibunuh selama Hitler berkuasa (1933 – 1945).  Sejarah tentang kekejaman terhadap ke­ma­nusiaan dan peradaban (crime against humanity and civilization)  yang dilakukan Nazi (Hitler) Jerman adalah kekejaman luar biasa yang pernah terjadi dimuka bumi!  Sebuah holocaust mengerikan!.

Tragedi kemanusiaan lain yang pernah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin otoriter di berbagai negara yang memerintah dengan tangan besi, tanpa batas.  Tragedi Tien An Men di negara komunis China (3 / 4 Juni 1989) menyebabkan terbunuhnya ribuan mahasiswa oleh militer China.  Para mahasiswa dan masyarakat sipil  yang menyerukan pemerintahan sipil yang demokratis justru ditembak secara brutal tanpa sense of humanity!.

Kejahatan perang dan kejahatan ter­hadap kemanusiaan juga terjadi ditempat lain.  Serbia – Bosnia sebagai negara pe­cahan Yugoslavia, juga tak luput dari ta­ngan besi Radovan Kara­d­zic serta ko­man­dan militer Jenderal Ratko Mladic (tahun 1992 – 1995).  Pol Pot, eks pemimpin komunis Kambodia dengan kejam mem­bantai rakyatnya tanpa ampun.

Di-guntur-kan

Mereka masukkan kamu kedalam sel yang gelap / Tanpa lampu / Tanpa lubang cahaya / Pengap / Tak ada hawa / Tak ada angkasa / Terkucil / Teman­mu beratus-ratus nyamuk semata / Terkunci / Tak tahu dimana berada!.

Bait puisi diatas adalah sebuah catatan pahit perjalanan hidup WS. Rendra, seniman kondang Indonesia yang pernah dijebloskan penguasa Orde Baru ke penjara Guntur yang menjadi tempat menakutkan dan mengerikan ala kamp penyiksaan Auschwitz Jerman.  Orang-orang yang disangka komunis, aktifis mahasiswa, aktifis pro demokrasi, mujahid Islam atau siapapun yang berseberangan pandangan politiknya dengan pe­nguasa rezim Orba pernah merasakan pedihnya kamp penyiksaan Guntur, berlokasi di jalan Guntur Manggarai Jakarta. Istilah lain lebih dikenal dengan term “di-Guntur-kan”.

32 tahun Indonesia tercengkeram kekuasaan absolut, otoriter, terjadi hukum rimba di negara yang dikatakan Pancasilais ini.  Kurun waktu itu dinamakan era Orde Baru.  Disaat ini banyak terjadi pelanggaran-pe­lang­garan HAM berat secara terstruktur, masif dan sistematis.  Era Orde Baru menjadi era gelap sejarah kemanusiaan di Indonesia.  Berbagai tragedi ke­ma­nuisan kejam, brutal tanpa peri­ke­ma­nusiaan, melawan hukum, menginjak-injak civilization (peradaban).  Tin­dakan-tindakan brutal non manusiawi, represif, koersif  dilakukan sepanjang tahun 1965 – 1998 oleh rezim Orba dibawah Soeharto (baca buku : Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Tim LIPI, 2001 dan Neraka Rezim Soe­harto, Margiono, 2007).

Lawan-lawan politik dicap dengan berbagai stigma seperti komunis, GAM/  GPK (di Aceh), anti Pancasila, anti kemapanan dsb.

Killing field (ladang-ladang pem­bantaian) ala Nazi Hitler terjadi hampir diseluruh nusantara.  Diawali  Oktober 1965 rakyat yang diduga dan dicap komunis dibunuh, dilempar kekali tanpa sense of humanity (peri­kemanusiaan), tanpa diadili menurut prosedur hukum!.

Operasi Militer (DOM) Aceh (1988 – 1998), termasuk penembakan terha­dap santri di Meunasah Bantaqiah  meninggalkan kepedihan dan luka mendalam bagi rakyat serambi Mek­kah!.  Tragedi berdarah terhadap kaum Islam di Tanjung Priok (1984), Ta­langsari (Lampung), Haur Koneng, Majalengka, Nipah Madura, Kedung Ombo Jawa Tengah, meninggalkan kepedihan mendalam duka rakyat luar biasa.  Ada lagi kasus penembakan misterius (1982) tanpa proses hukum, penyerangan markas PDI (27 Juli 1996), tragedi Santa Cruz dan  Invasi ke Timtim tahun 1972, peristiwa ninja bertopeng (dukun santet) Banyuwangi (tahun 1997 – 1998).

Belum lagi penangkapan-penang­kapan terhadap aktifis mahasiswa dalam peristiwa Malari (Herman Siregar cs) tahun 1974.  Penculikan dan penangkapan sewenang-wenang, pe­nye­kapan, penyanderaan, penyiksaan, penghilangan paksa terhadap aktifis-aktifis  pro demokrasi (Nezar Patria, Andi Arief, Haryanto Taslam cs).  Penembakan terhadap mahasiswa Tri Sakti, peristiwa Semanggi I, II tahun 1998.  Diperkirakan ratusan ribu orang terbunuh selama kurun era kalabendu ini !  Semua itu tanpa melalui proses pengadilan dan hukum!.

Pers dibungkam, dikenai pasal haatzai artikelen (pasal penebar benci) produk Belanda.  Surat izin terbit dan izin cetak koran besar nasional dicabut seperti Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Kompas, Pelita, the Jakarta Times, Sinar Pagi dan Pers Mahasiswa Harian Kami, Salemba (UI), Gama (UGM), Kampus (ITB), Airlangga (Unair), Tifa Mahasiswa (Unand), Majalah Islam Panji Masyarakat dan hampir semua koran ternama di­breidel. Wartawan kondang Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Enggak Ba­haudin dll di jail (dipenjara).

Kopkamtib membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa semua perguruan tinggi di Indonesia dengan nama Nor­malisasi Kehidupan Kampus (NK­K).

Munir Said Thalib, aktifis Hak Azazi Manusia (HAM), duta universal Islam yang mendapat penghargaan dunia, juga menjadi korban kecurigaan dan kezaliman era Orba sampai meninggal diracuni dipesawat penerbangan Ja­karta – Singapura dan Amsterdam.  Sayang semua kasus pelanggaran berat HAM era Orba masih belum berhasil dituntaskan pemerintah.  Operator dan konseptornya tak tersentuh!.  Ini merupakan sebuah enigma (teka-teki) bagi sejarah NKRI.

Dalam hierarkis militer, tak ada prajurit yang salah.  Secara logika prajurit hanya menjalankan perintah atasan.  Yang bertanggung jawab adalah Sang Jenderal ( Jendral Mac Arthur).  Hal ini menjadi test of history bagi negara yang dikatakan ber Kemanusiaan yang adil dan beradab ini. 

Tulisan ini merupakan peringatan, catatan penting dan atensi bagi kita semua agar tak lengah dari humanity crime sebuah rezim penguasa despotis.  Sejarah adalah guru kehi­dupan, agar yang baik dijadikan con­toh, yang buruk dibuang!.


http://padangekspres.co.id

DIPLOMASI KEMANUSIAAN Lebih Tanggap dan Responsif Terhadap Perlindungan WNI di Luar Negeri

Semenjak Menlu mencanangkan program restrukturisasi Departemen Luar Negeri dan Kantor Perwakilan RI tahun 2001, banyak inovasi dan perubahan yang dihasilkan. Salah satu diantara hasil restrukturisasi ini adalah dibentuknya Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum pada tahun 2002. Pembentukan Direktorat ini tidak terlepas dari prioritas Deplu terhadap upaya perlindungan WNI di Luar Negeri yang dalam perkembangannya membutuhkan perhatian yang lebih serius. Sebelumnya, masalah perlindungan WNI belum mendapat perhatian yang cukup, sekarang dengan Diplomasi Kemanusiaan, perlindungan WNI dapat dilakukan dengan cepat, tepat, murah dan memuaskan.

Sehubungan dengan penempatan kantor perwakilan, akan dibuat sistem rating.Yaitu sistem yang akan mengatur besar kecilnya perwakilan, jumlah dan komposisi staff, bobot misinya dan kegiatan-kegiatan yang lainnya dengan menggunakan parameter indeks perwakilan. Indeks ini disesuaikan dengan kepentingan nasional Indonesia di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan konsuler atau perlindungan warga. Kalau indeks perwakilan lebih untuk kepentingan bidang politik misalnya, maka yang akan diperkuat adalah bidang politiknya., kalau hubungan ekonominya, maka bidang perekonomiannya yang diperkuat. Contohnya di Kualalumpur Malaysia, yang dikuatkan dan ditonjolkan adalah fungsi bidang perlindungan WNI, disamping fungsi-fungsi yang lain. Maka atas dasar itu, kantor perwakilan disana diperkuat dengan penambahan staff dan resource-nya seperti penambahan anggaran dan sebagainya.

Pada 29 Juli 2007 lalu, Menlu Hassan Wirajuda telah meluncurkan program perlindungan/pelayanan WNI, dimana sesuai dengan program, perwakilan harus bertugas sebagai kordinator dan penanggung jawab perlindungan. Dengan adanya masalah perlindungan warga negara ini, maka kebijakan yang diterapkan adalah kepedulian
dan keberpihakan, dimana perwakilan harus peduli dan berpihak kepada WNI dalam suatu kasus. Jika terjadi suatu kasus dan bisa diselesaikan secara langsung, maka perwakilan akan menyelesaikannya, seperti kasus penipuan , pelecehan, gaji tidak dibayar dan sebagainya. Oleh karena itu dengan diperkuatnya staff diplomasi bidang perlindungan, kantor perwakilan diharapkan lebih cepat tanggap dan responsif.

Pada prinsipnya program perlindungan atau pelayanan ini adalah untuk memperkuat fungsi yang sudah ada. Dengan adanya fungsi-fungsi ini perwakilan akan lebih tanggap dan responsif, lebih cekatan dan cermat, serta lebih semangat dalam memberikan perlindungan kepada WNI. Perwakilan akan membenahi suatu kasus mulai dari hulu sampai ke hilir, namun biasanya kasus yang terjadi lebih sering disebabkan oleh faktor di hulu, yaitu dari dalam negeri, tetapi karena merupakan satu kesatuan sistem dan terjadinya di luar negeri, maka yang bertanggung jawab adalah kantor perwakilan.

Hal ini dilakukan demi kepentingan pemerintah dan negara, namun demikian di pusat juga akan dibentuk gugus tugas untuk menangani laporan-laporan dari perwakilan. Dalam konteks ini, Deplu juga melakukan kerja sama dengan instansi terkait karena merupakan satu kesatuan dalam pemerintahan, LSM-LSM dan pihak lainnya dalam bentuk tukarmenukar informasi. Dalam era sekarang ini, semua pihak harus sama-sama melaksanakan tugas sesuai dengan bidang dan kewenangan tugas masing-masing. Disatu sisi Deplu punya kewenangan punya tangung jawab, di sisi lain LSM juga demikian, intinya adalah bagaimana bisa melindungi warga negara yang berada di luar negeri, tanpa melihat ini LSM atau bukan, diluar negeri pemerintah dan LSM harus bekerjasama. Oleh karena itu diharapkan LSM-LSM yang ada bekerjasama memberikan informasi-informasi jika terjadi suatu kasus yang menyangkut WNI, karena walau bagaimanapun, sesuai dengan ketentuan hukum suatu negara, yang diakui untuk melindungi warga negara Indonesia adalah kantor perwakilan.

Jika terjadi suatu kasus, hal pertama yang dilakukan oleh Deplu adalah mengupayakan perlindungan, karena melindungi warga negara adalah tanggung jawab pemerintah, terlepas dari bagaimana dan apapun yang dilakukan oleh warga tersebut. Seandainya terjadi pemulangan (deportasi)WNI atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), maka hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Deplu akan melakukan kordinasi dengan pihak terkait, jika yang dideportasi itu adalah TKI, maka yang akan dikontak adalah agen penerimanya atau majikannya. Kalau majikannya dan agen penerimanya tidak bisa, maka yang dikontak selanjutnya adalah agen pengirimnya, kalau semuanya tidak bisa, baru resource-nya ke pemerintah. Oleh karena itu akan diteliti lebih dulu bagaimana kasusnya, apa yang terjadi. Yang sering terjadi adalah tidak lengkapnya surat legal/dokumen-dokumen yang sah, padahal sewaktu masuk dokumennya lengkap dan sah, namun karena ingin tetap tinggal disitu, surat ijinnya habis, visanya juga habis dan akhirnya menjadi illegal dari sisi pemerintah setempat, dari sisi pemerintah RI mereka tetap WNI yang harus dilindungi.

Untuk masalah pemulangan WNI, Deplu memang mengalokasikan anggaran khusus akan tetapi tidak sebanyak kalau untuk sampai terjadi suatu eksodus, tentunya dana itu akan habis, maka dengan itu diperlukan suatu kordinasi yang kuat antara instansi pemerintah. Deplu bisa saja melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat, akan tetapi tidak mungkin juga seandainya harus melakukan pemulangan dengan biaya yang begitu banyak.

Sumber :  http://www.tabloiddiplomasi.org

Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan

Tantangan kehidupan kebangsaan yang saat ini sedang terancam ‘paganisme’, meminjam istilah Mochtar Pabottinggi, yang berurat-akar dan menjadi-jadi pada hampir seluruh sendi sosial-kemasyarakatan. Paganisme dalam artikulasi sosial-politik tiada lain adalah keterjajahan oleh hawa nafsu untuk menjadikan dan mengusung diri sebagai dewa yang berkuasa, serakah, merebut, memaksa dan menguasai. Ini dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen sosial dan politik, termasuk fatwa-fatwa keagamaan yang memberangus dan meniadakan orang lain.
 
Publik Indonesia paska reformasi, disuguhkan berita-berita kekerasan dan pengrusakan yang masif, terjadi di hampir seluruh pelosok negeri. Mulai dari urusan yang paling sederhana seperti ketersinggungan pribadi yang berujung tawuran antar desa, sampai pada pertengkaran antar pendukung partai politik, pejabat publik, konflik etnik dan kebenaran agama yang vis-a-vis kesesatan agama. Pengrusakan dan segala bentuk kekerasan ini sesungguhnya berawal dari ketidak-siapan psiko-sosial anak-anak bangsa untuk menerima orang lain yang berbeda secara identitas, dan disulut oleh nafsu serakah untuk merebut dan berkuasa terhadap yang lain.
 
Perbedaan dianggap sebagai awal dari permusuhan. Sehingga kerja-kerja institusi sosial kita, didorong untuk mencermati orang-orang yang berbeda dari identitas kita dan menelusuri siapa yang melawan kepentingan kita. Semua institusi sosial kemudian berubah menjadi panggung politik Mechavillian untuk memetakan siapa kawan dan siapa lawan. Di antara kawan-kawan pun dipilah lagi, siapa kawan inti dan siapa kawan pinggir, bahkan mencurigai adanya ‘musuh dalam selimut’. Jika pun ada penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan, tiada lain kecuali atas pertimbangan politik kepentingan, yang bersifat sesaat, pragmatis dan tanpa didasari pemikiran yang strategis berjangka panjang.

Ini ancaman serius pada semua level sosial kehidupan berbangsa. Kehidupan beragama anak bangsa, juga terkena imbas budaya politik kepentingan. Sehingga ritual keagamaan yang menggelora tidak memiliki dampak sosial yang berarti. Sebaliknya, publik Indonesia justru menyaksikan sejumlah pseudo-agama yang penuh ironi. Yaitu maraknya kejahatan sosial, yang berbarengan dengan menguatnya praktik-praktik ritual keagamaan. Di satu sisi, banyak masyarakat berbondong-bondong berebut pergi haji dan umrah, pergi beramai-ramai ke masjid berdzikir, pergi ke pengajian, menyosialisasikan model busana muslim dan melakukan tuntutan formalisasi Syari’at Islam, tetapi di sisi lain kejahatan sosial semakin meningkat dan tak terkendali. Kejahatan korupsi, kesenjangan distribusi ekonomi, rendahnya pelayanan kesehatan dan pendidikan, menipisnya kepedulian sosial, mudah terbakar konflik, rendahnya penghargaan terhadap perbedaan dan melemahnya posisi tawar perempuan dan anak-anak yang mengakibatkan mereka terus menjadi korban kekerasan dan ketimpangan sosial.

Catatan-catatan Kang Ayip ini, -yang berawal dari inspirasi pesantren- sedang memproklamasikan keislaman sosial yang sama mulia dengan keagamaan ritual, sebagaimana diprasastikan dalam surat al-Mâ’ûn. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?  Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya”. (QS. Al-Mâ’ûn, 107: 1-5).

Dalam suatu teks hadits, Allah tidak menerima puasanya seseorang yang tidak mampu meninggalkan perkataan bohong (qawlazzuur), meskipun dia meninggalkan makan dan minum. Jika berbohong saja bisa menghancurkan ritual puasa, apalagi menipu, korupsi, merusak dan melakukan kezaliman-kezaliman kemanusiaan. Dalam buku ini, Kang Ayip sedang mengkritik kita semua, masyarakat pesantren dan umat islam Indonesia yang sedang gandrung dengan kuantitas ritual agama dan formalisasi syari’ah.

Dalam buku ini, Kang Ayip juga sedang meneguhkan pentingnya penghargaan terhadap perbedaan, tanpa harus menafikan pentingnya mencari kesamaan-kesamaan di antara perbedaan tersebut. Penerimaan terhadap perbedaan dengan penuh penghormatan atas eksistensi dan jati diri masing-masing. Proyek kesamaan, diperlukan oleh bangsa Indonesia, untuk menancapkan kesederajatan antar sesama dan memastikan kesejahteraan untuk semua. Perbedaan tidak seharusnya membawa pada perlakuan berbeda, ketimpangan relasi dan perilaku zalim terhadap yang berbeda. Pada saat yang sama, persamaan tidak sebaiknya memaksakan adanya keseragaman; baik mengenai cara berpikir, berkeyakinan, maupun berbudaya. Persis seperti dinyatakan Tsvetan Todorov, bahwa “Kita menghendaki kesamaan yang tak memojokkan kita pada keseragaman; dan kita menghendaki perbedaan yang tak menjerumuskan kita ke dalam superioritas atau inferioritas”.

Publik dunia saat ini, khususnya Amerika, memiliki Imam Feisal Abdul Rauf, Imam Masjid al-Farah New York City, yang melalui bukunya ‘Seruan Azan dari Puing WTC; Dakwah Islam dari Jantung Amerika Paska 9/11’, berupaya menyadarkan pada pentingnya ‘etika Ibrahim’ sebagai milik bersama antara dunia Barat dan dunia Islam. Etika ini menurutnya bisa merajut dan mendorong orang-orang dari kedua belah pihak; untuk merujuk pada prinsip-prinsip bersama; ketauhidan yang transendental dan sekaligus sosial, kesederajatan seluruh umat manusia, keadilan dan kerahmatan dengan tanpa kecuali. Pada saat yang sama, dengan etika Ibrahim, Imam Feisal, sekaligus mengkritik kerakusan dan keserakahan dunia Barat, yang saat ini dipimpin Amerika dengan Bush-nya, dengan korban utamanya Afghanistan, Irak dan Palestina. Imam Feisal juga mengkritik nafsu balas dendam dalam diri beberapa individu muslim, yang muncul dalam bentuk bom bunuh diri, pengeboman WTC, pengeboman Bali, dan yang lain.

Kita di Indonesia, khususnya di wilayah Cirebon memiliki Kang Ayip Usman, pengasuh Pesantren Khatulistiwa Kempek Ciwaringin. Melalui buku ini, Kang Ayip menyapa pembaca dan menyerukan untuk kembali pada keagamaan yang memberdayakan umat, dan mengkritik ketimpangan dan keserakahan sosial, serta meneguhkan penghormatan pada kemanusiaan. Kepada khalayak warga Cirebon, dan siapapun, kami ucapkan selamat membaca. Semoga buku ini memberi sumbangan pada perubahan dan harapan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil, damai, sejahtera sebagaimana misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Wassalam

Sumber :  http://www.fahmina.or.id

Kapan Indonesia Berbasis Kemanusiaan?

Oleh :LUKMAN WIBOWO
Diskursus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan persoalan yang pelik bagi banyak kalangan. Di tengah “ketakbergairahan” usaha penegakkan HAM di berbagai belahan dunia, berbagai konsep baru terus mengalir ditawarkan sebagai alternatif lain yang lebih bermakna positif. Faktanya, semua mengakui bahwa para pejuang kemanusiaan yang ada, relatif terhegemoni oleh definisi Barat sebagai cikal bakal “politik HAM” itu sendiri.
Multitafsir HAM
Hari ini—sejak 10 Desember 1948—sudah 59 tahun kita merayakan momen Hari HAM, namun pemahaman masyarakat tentangnya, masih belum tumbuh besar. Pertama, masalah itu muncul sebab belum diperolehnya pengetahuan yang objektif secara lebih luas. Pengertian HAM penuh kontroversi. Bagi para pendukungnya, HAM diyakini sebagai pondasi peradaban tanpa penindasan. Tetapi banyak tokoh menganggap sebaliknya. Mahatir Muhammad menyebut HAM sebagai propaganda human right imperialisme. Sementara Ali Alatas menyatakan tak boleh satupun negara berhak mendikte HAM (Eggi Sudjana, 1998).
Kedua, sejarah HAM yang acapkali diungkap, pada kenyataannya mengalami distorsi historis. Konsepsi HAM dilukiskan lahir sebagai akibat (by product) dari modernitas—paling jauh, setelah kelahiran Piagam Magna Charta. Padahal sejarah pengakuan hak asasi kemanusiaan oleh agama, sudah ada jauh lebih dahulu. Konsekuensinya, sebagai sebuah produk modernisasi, pembahasan tentang HAM tentu akan bernuansa politis. Setiap solusi yang ditawarkan, cenderung dipandang sinis dan curiga. Makna HAM ala Barat, acap dibarengi sikap phobia sebelum dikaji lebih lanjut.
Ketiga, upaya-upaya penegakkan HAM tidak dilakukan secara serius atau sering diwarnai berbagai bentuk paradoks dan pelanggaran. Terlebih di hadapan kekuasaan, HAM seolah tiada sama sekali.
Klimaksnya, beberapa kondisi tersebut melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya pengakuan HAM secara universal.
Sejumlah kasus
Ketika reformasi bergulir di Indonesia, harapan akan perubahan berbagai aspek, nyaris semua tertumpu padanya. Keruntuhan nasional adalah karya dari “kecacatan” pembangunanisme yang dibangun oleh kekuasaan Negara. Jatuhnya rezim yang menandai lahirnya era baru, menuntut perbaikan di seluruh lini. Salah satu gagasan yang muncul, adalah reformasi di bidang hukum dan kemanusiaan.
Ada sejumlah persoalan asasi kemanusiaan yang tak kunjung diselesaikan di masa reformasi. Ambil satu contoh saja tentang penegakkan perkara kemanusiaan (baca : HAM). Tidak kurang dari 194 kasus telah terjadi pelanggaran HAM di Indonesia (antara tahun 1995–Maret 1996). 43 kasus terjadi atas tokoh politik, 33 kasus terhadap mahasiswa, 69 kasus pencekalan, 27 kasus tentang perizinan, 38 kasus terhadap organisasi, dan 34 kasus atas kesenian.
Kemudian berbagai kasus yang terjadi di daerah seperti; pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer di Aceh 1976–1998. Pembunuhan massal 500.000–2.000.000 jiwa yang dituduh terlibat dalam gerakan PKI tahun 1965. Penangkapan di Pulau Buru 1969–1979. Penghilangan paksa dalam operasi militer di Irian Jaya 1976–1983. Pembantaian dalam peristiwa Tanjung Priok 1984. Penangkapan kelompok muslim yang dianggap terlibat dalam separatisme di Lampung 1989. Pembunuhan petani Nipah suku Madura 1993. Peristiwa Haor Koneng, Majalengka 1993. serta kasus pembunuhan di Irian Jaya tahun 1994–1995.
Ini belum lagi termasuk pelanggaran kemanusiaan, yang terjadi antara tahun 1997 sampai 1998, yang terukir sebagai sejarah hitam bangsa Indonesia, yaitu kerusuhan 14 Mei dan 13 November 1998.
Juga kasus pembantaian terhadap tokoh masyarakat berdalih dukun santet dan ninja di Banyuwangi pada akhir 1998, yang menyebabkan 84 orang meninggal dunia.
Di tahun 1999 sampai 2007 (pemerintahan paska-Orba), tercatat ratusan kasus pelanggaran HAM yang masih terjadi. Sebagian besar kasus tersebut belum ditangani secara tuntas. Misalnya pemukulan terhadap mahasiswa oleh oknum partai, pada 20 Mei 2002 di Semarang. Pelarangan mengenakan jilbab dalam foto ijazah mahasiswinya oleh sebuah Perguruan Tinggi, yang secara nyata-nyata kebijakan rektorat ini melanggar hak asasi kemanusiaan.
Peracunan terhadap demonstran anti-Sutiyoso, di Jakarta pada 2004 silam. Kisah pembunuhan Munir, kematian beberapa TKI tanpa keterangan yang jelas, hilangnya pemukiman warga akibat lumpur Lapindo, serta banyak lagi. Tidak terkuaknya kasus-kasus semacam inilah yang pada akhirnya membentuk mosi masyarakat akan matinya HAM di negara ini.
Dalam pada itu, yang sungguh mengejutkan, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 8 Desember 2006. Akibatnya, kita tak bisa mengungkap kasus-kasus kejahatan HAM berat sejak tahun 2000 ke bawah, setidaknya yang terjadi selama 32 tahun dalam kekuasaan Soeharto
Kemanusiaan dan hukum
Kondisi penegakkan HAM maupun asas dan etika kemanusiaan yang setengah hati, kian memperlebar jarak antara nilai kemanusiaan dan pelanggarannya itu sendiri. Memuliakan hak-hak dasar manusia, menjadi perkara yang amat berat, karena sistem di Indonesia tidak merdeka dari kekuatan modal dan politik suatu “kelompok mafia” atau rezim tertentu.
Dengan pengertian lain—menurut Talcott Persons (2003)—bahwa ketika berbicara mengenai HAM, maka itu akan terkait erat dengan subsistem yang lain, seperti hukum, ekonomi dan teknologi, politik, sosial, dan kebudayaan. Perubahan yang terjadi pada salah satu komponen tersebut, jelas akan berpengaruh terhadap komponen yang lain, terutama dimensi HAM itu sendiri.
Dalam konteks keindonesiaan, lemahnya aktualisasi penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan, tentu sangat mengenaskan, mengingat negara ini merupakan negara hukum. Melalui usaha penegakkan supremasi hukum, diharapkan seluruh aspek-aspek kehidupan bangsa mampu diperbaiki sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila: Indonesia berbasis kemanusiaan yang adil dan beradab.
Penulis adalah dosen AKP Widya Buana, Semarang.
Artikel refleksi Hari HAM ini dimuat di Koran WAWASAN 10 Desember 2007

Sumber :  http://insanlimacita.wordpress.com

Bung Hatta: Antara Politik dan Kemanusiaan

Saya pernah mengajukan beberapa pertanyaan kepada Bung Hatta, selain untuk mengetahui hal-hal yang masih samar, juga sekaligus untuk mengadakan semacam Psycho-test. Saya ingin mengetahui, apakah Bung Hatta itu mempunyai perasaan dendam terhadap lawan politiknya ataukah tidak.

Seperti kita ketahui, Bung Hatta bersahabat baik dengan Mr. Amir Sjarifuddin, akan tetapi lantaran perbedaan politik, maka Mr. Amir Sjarifuddin bersama Musso telah mengadakan pemberontakan melawan Pemerintah Republik yang sah, yang kebetulan di masa itu di bawah pimpinan Bung Hatta sebagai wakil presiden merangkap perdana mentrinya. Setelah pemberontakan PKI/Madiun di bawah pimpinan Amir-Musso ini dapat ditindas oleh TNI, maka pada waktu Clash Kedua, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan dihukum mati.

Dalam hubungan ini saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan sekitar Amir Sjarifuddin. Bung Hatta membalas pertanyaan saya sebagai berikut:

“Saudara mengajukan pertanyaan tentang almarhum Mr. Amir Sjarifuddin. Ini sebenarnya menghendaki suatu analisa yang mendalam sekali dan sepintas lalu sukar memberi jawaban yang tepat. Kalau sekiranya Amir Sjarifuddin orang biasa saja, orang yang hanya ikut-ikutan, dapat dimengerti gelagatnya. Tetapi Amir Sjarifuddin adalah orang yang cerdas yang mempunyai perasaan agama yang mendalam, tetapi ia mengaku seorang komunis. Menurut cerita orang-orang yang bertugas untuk menembaknya waktu Belanda sudah masuk di Solo, maka ia rela ditembak dan hanya meminta supaya ia diberi izin membaca suatu surat dari Injil. Permintaan itu diizinkan. Sikapnya ini menimbulkan suatu pertanyaan, bagaimana seorang yang taat kepada agama masih percaya kepada komunisme yang dia kenal sebagai gerakan anti-Tuhan. Saya sendiri tidak bisa menjawab masalah ini. Hanya orang yang mengikuti perjuangannya, dekat, dan kenal dengan dia sedalam-dalamnya, dapat menjawab bagaimana Mr. Amir Sjarifuddin dapat menggabungkan dalam dirinya agama Kristen dan komunisme. Hingga manakah komunisme itu dapat dipakainya secara taktik belaka?… memang dalam zaman Jepang kami berdua, Bung Karno dan saya, mendesak kepada Jepang supaya hukuman mati yang dijatuhkan atas diri Amir Sjarifuddin diganti dengan hukuman seumur hidup.”

Atas pertanyaan saya, benarkah Amir Sjarifuddin pernah kirim kawat kepada Haji Agus Salim berisi perintah agar Agus Salim tidak pernah meneruskan misinya untuk memperoleh pengakuan de facto dan de jure dari negara-negara Timur Tengah, Bung Hatta secara jujur mengatakan:

“Saya tidak mengetahui sedikit pun tentang kawat yang dikirim oleh Perdana Mentri Amir Sjarifuddin (waktu itu) melalui Setiadjid kepada H. Agus Salim di Cairo atau New Delhi. Saya tanyakan kepada beberapa orang yang pada waktu itu di dalam Pemerintah, tapi tak ada yang mengetahuinya. Karena itu pula tidak dapat saya menjawab pertanyaan yang Saudara majukan dalam surat itu.”

Selain itu saya bertanya tentang kebenaran berita bahwa Bung Hatta menyusun anggaran dasar bagi Yayasan Soekarno dan duduknya Bung Hatta dalam Yayasan Idayu sebagai pelindung. Atas kedua pernyataan ini, Bung Hatta membalas sebagai berikut:

“Memang sayalah yang menyusun anggaran dasar bagi Yayasan Soekarno atas permintaan Guntur. Saya menerima kedudukan sebagai pelindung Yayasan Idayu karena yayasan itu aktif mengumpulkan buku dan guntingan surat kabar yang dapat dipergunakan terutama oleh mahasiswa dalam pelajaran mereka. Jadinya terutama untuk pendidikan. Usaha swasta semacam itu perlu dibantu.”

Seperti diketahui Yayasan Idayu ini didirikan untuk menghormati Ibunda Bung Karno. Nama “Idayu” diambil dari nama beliau Ida Ayu Nyoman Rai. Dahulu yang menjadi pelindung Yayasan ini pertama-tama Bung Karno kemudian diganti Bung Hatta.

Dari sekretaris pribadi beliau Bapak I. Wangsa Widjaja, saya pernah mendengar bahwa sekalipun Bung Hatta itu antikomunis, namun pada waktu mendengar bahwa Alimin tokoh PKI nasibnya menyedihkan, maka Bung Hatta mengirim surat kepada Perdana Menteri Wilopo untuk memperhatikan nasib Alimin. Ini berarti bahwa Bung Hatta dapat membedakan antara politik dan kemanusiaan.

Sekalipun lawan politik, bila perlu, wajib ditolong dari segi kemanusiaan. Itulah sebabnya saya pernah menanyakan kepada Bung Hatta, benarkah bahwa seorang politikus itu adalah karakterloos? Apa jawab Bung Hatta, dengan nada serius beliau berkata: “Siapa bilang? Seorang politikus itu harus punya karakter. Kalau tidak punya karakter berarti tidak punya pendirian. Itu tidak betul!”

Solichin Salam, Pribadi Manusia Hatta, Seri 10, Yayasan Hatta, Juli 2002
Sumber :  http://forum.upi.edu

REPRESENTASI KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK KEMANUSIAAN

Tanpa mengurangi makna headline Koran Seputar Indonesia (Koran Sindo) edisi mingu, 10 Februari 2007 tentang Pencanangan Gerakan Membaca Koran yang dihiasi dengan foto Bapak Presiden SBY saat membaca Koran Sindo di mimbar kepresidenannya, perkenankan saya hadir untuk mengomentari tulisan di halaman lain denga berbagai pertimangan atau alasan. Pertama, sebagai pembaca Koran Sindo ternyata ada persamaan rubrik kegemaran diantara sesama pembaca setia (termasuk Pak SBY) yaitu berita sepakbola. Sedang alasan kedua, karena percaturan politik saat ini di tanah air, memang belum menggemingkan minat saya untuk mengomentarinya.
Semoga pembenaran saya sudah dirasa cukup untuk hadir dengan, mengembangkan pemikiran yang diilhami isi pada halaman 16 tentang resensi buku yang berjudul Seruan Azan dari Puing WTC dari Imam Feisal Abdul Rauf .
Paska tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluarkan pernyataan kontroversial “war and terror” yang dalam prakteknya mendeskreditkan umat Islam, seolah sebagai pelaku dan penyebar teror. Walaupun hal ini telah disanggah pihak AS, dengan serentetan siaran radio dan televisi produksi Voice Of Amerika (VOA) dengan menyiarkan kondisi umat Islam di AS yang hidup aman, damai serta non diskriminatif sampai saat ini.
Melalui resensi buku yang ditulis oleh Mohamad Asrori Mulky, diungkapkan pemikiran Imam Feisal selaku Imam besar masjid AL Farah, tentang kemunculan citra negatif terhadap Islam di AS, yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh sentimen negatif pihak nonmuslim yang salah dalam melihat substansi Islam. Sebagian kecil umat Islam yang berperilaku agresif terhadap umat beragama lain, dipandang memiliki kontribusi positif terhadap pencitraan Islam itu sendiri di AS. Meskipun citra negatif karena hal tersebut bukanlah bersifat monotype, mengingat banyak faktor lain yang juga menjadi penyebab seperti faktor politik yang dengan sengaja membangun dukungan dan kekuatan masa di dalam maupun di luar AS melalui “penciptaan musuh bersama” yaitu terorisme yang telah diidentikkan dengan Islam.
Memang sekecil apapun esensi kebijakan publik suatu negara, pasti akan menimbulkan pengaruh terhadap warna politik luar negeri dari negara bersangkutan, dan itulah yang terjadi pada pemerintah AS saat ini, seperti yang ditulis oleh Rahmadya Putra Nugraha dalam penelitian ilmiahnya yang berjudul “Upaya Diplomasi Publik VOA ke Indonesia terhadap citra AS” (Prof.DR.Moestopo University, 2008).
Yang menarik dari pemikiran Imam Feisal adalah, upayanya untuk menjembatani adanya pelurusan terhadap miskonsepsi nilai-nilai dari ajaran Islam, melalui dialog yang bersandar pada tiga pilar yaitu iman, peradaban dan kebudayaan. Setidaknya ada dua argumentasi utama yang membingkai preambule dukungan terhadap dialog tersebut yaitu; pertama, adanya akar yang sama sebagai elemen dasar tuntunan agama Yahudi, Kristen dan Islam sendiri yaitu etika Ibrahim. Ketiga agama tersebut memang mengakui keberadaan tuntunan Nabi Ibrahim, sebagai pendahulu yang sekaligus mengajarkan untuk senantiasa mencintai Tuhan, serta sesama umat manusia tanpa melihat perbedaan ras, agama ataupun latar belakang budayanya. Hal yang kedua, adanya kesamaan mendasar antara nilai-nilai Islami dengan nilai-nilai dasar Konstitusi AS yang menekankan prinsip kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan manakala Imam Feisal sebagai warga AS yang berkeyakinan Islam dan secara faktual adalah kaum minoritas, menyatakan hal itu sebagai suatu fakta kebenaran dan tidak semata-mata sebagai upaya pembenaran.
Di Indonesia tercinta, lebih menarik lagi dengan adanya hal yang sama seperti di atas, namun hal itu justru dilakukan oleh pimpinan umat nonmuslim, yang dengan gigih melakukan pengembangan dialog antar agama agar memperoleh eksistensi ke”warga negara”annya melalui perolehan perlindungan serta perlakuan secara adil sebagai sesama hamba Tuhan. Bukankah Muhammad Rasulullah sendiri mencontohkan kepada pengikutnya untuk menghormati hamba Tuhan nonmuslim saat bertamu, dengan menyediakan fasilitasi melakukan ritual keyakinan agama lain di rumah beliau. Bahkan Tuhan-pun telah berfirman untuk menghormati adanya perbedaan keyakinan beragama tersebut dengan “lakum dinukum waliyadhin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Hakekat dari pemikiran secara fundamental terhadap tulisan saya ini adalah, hubungan kemanusiaan yang bernilai serta berbobot humanism-kulturalism antara sesama hamba Tuhan adalah menjadi kewajiban kita semua untuk menghormatinya, namun tidak harus dengan melakukan ritual agama secara bersama, karena memang hakekatnya Tuhan telah menciptakan adanya perbedaan tersebut sebagai rahmat, dan bukan sebagai pemecah belah, apalagi pemusnah antar sesamanya. Dan selayaknya kebijakan publik yang dijalankan melalui komunikasi publik suatu negara, juga bertujuan pada nilai-nilai kemanusaan yang sama.
Secara lugas dan terbuka perlu disampaikan bahwa memang Tuhan tidak menciptakan “Agama Bersama” bagi hamba-hambaNya, karena dengan keberbedaan yang ada, kita justru dapat hidup “bebas dan merdeka dalam beragama, serta saling menghormatinya”, bukankah Tuhan yang Maha Tahu tentang kebaikan dibalik semua hal ini.
Itulah hakekat sebenarnya dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

Darsana Setiawan,
Pengamat pendidikan, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta.

Sumber :  http://edukasipress.wordpress.com

Pegiat Kemanusiaan Tidak Dapat Dilecehkan oleh Siapa Pun

Saya cukup tahu betapa berat bekerja sebagai peneliti indenpenden yang tidak mendapat sokongan dalam suatu lembaga yang memayunginya. Kerja indenpenden sunguh menguras energi, waktu, biaya, dan juga “keselamatan diri”. Namun kerja indenpenden itu hendaknya dapat merangkul peran pihak lain yang mau ikhlas membantu dan terlibat menyuarakan aspirasi demi keadilan dan kemanusiaan.

Saya mengikuti sepak terjang Eka Hindra yang memiliki jiwa berani, konsisten, militan, dan memiliki empati terhadap persoalan hak asasi kemanusian menyangkut persoalan tanggung jawab Militer Jepang ketika periodesasi invasi di kawasan Asia dan Pasifik, khususnya Indonesia. Salah satunya, riset lapangan untuk mengali kasus Jugun Ianfu di Indonesia yang mencakup wilayah Pulau Jawa, Kalimantan, Makassar, Pulau Buru, dan saat ini di Maluku. Dalam penelusuran itu ia mencari dan mengkoneksikan jejaring yang dapat membantu kerjanya di lapangan. Sugguh berat penelitian indenpenden tersebut karena ia mengerjakan sendiri semua persiapannya. Persiapan yang dilakukan meliputi hal mendasar yaitu waktu, mental, tenaga dan pikiran, serta finansial. Hal itu juga harus didukung keahlian mengumpulkan data sekunder, pendekatan terhadap korban dan lingkungannya, mencari kontak lokal, alat penunjang wawancara, mencari transportasi, dan akomodasi yang semua dipersiapkan dengan inisiatif sendiri. Sekali lagi tidak mudah melakukan penelitian lapangan seperti itu, apalagi ia seorang perempuan yang posisinya lebih rentan di banding laki-laki—tidak bermaksud menajamkan istilah jender—jika berada di suatu lokasi atau wilayah terpencil.
Sebagai seorang peneliti, saya juga memahfumi, bahwa riset tidak akan berjalan tanpa ada dukungan pihak yang terlibat di dalamnya. Kerja tersebut membutuhkan dukungan dari pihak yang dapat mem-back-up ketika ada persoalan di lapangan. Pentingnya pengkoneksian jejaring dan sinergisitas terletak di situ. Peneliti tidak dapat indenpenden seutuhnya, tanpa ada aktor atau pihak lain yang membantunya. Terkait dengan persoalan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap Eka, GFI sebagai lembaga yang juga berkepentingan dengan isu militerisme, internasional, kejahatan perang, politik, sosial, budaya, dan kemanusiaan seyogyanya mengoneksikan jejaring dan kekuatan yang ada untuk membantu Eka mengatasi persoalan tersebut—jika memang diperlukan. Itu seharusnya berlaku bukan kepada  GFI saja, namun didukung oleh perorangan, lembaga, atau institusi lain yang konsen dan peduli terhadap nasib peneliti perempuan dan pegiat kemanusiaan. Perorangan atau lembaga tersebut diharapkan tergerak membantu upaya Eka untuk menguak kebenaran melalui riset lapangan sebagai upaya pelurusan sejarah kelam Bangsa Indonesia.
Saya yakin dan percaya GFI sudah menempuh upaya aksi pro-aktif dengan membantu Eka sesuai kemampuan dan kapasitas sebagai sebuah lembaga yang konsen dengan persoalan tersebut. Jika memang GFI dapat mengadvokasi melalui jaringan atau kontak yang dimiliki terkait dengan persoalan tersebut, justeru hal itu yang sangat diharapkan. Sekali lagi saya sungguh prihatin dan mengutuk pelaku atas terjadinya musibah yang dialami oleh Eka Hindra di Maluku sebagai seorang peneliti dan aktivis kemanusiaan. Saya mendukung upaya politik dan hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas. Hal itu agar menjadi pelajaran bahwa, peneliti perempuan dan pegiat kemanusiaan tidak dapat dilecehkan begitu saja oleh siapa pun—apalagi oleh kekuasaan dan oknum di pemerintahan. 
Upaya-upaya yang dilakukan Eka melalui kegiatan penelitiannya membantu menyingkap sisi sejarah yang masih terselimut kabut. Melalui sisa waktu yang ada, secara kemanusiaan ia menolong memasukan ianfu ke program Kemensos, yaitu ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar).  Yang memang menurut saya, sudah semustinya  peran itu dilakukan oleh negara kepada para pelaku-pelaku sejarah  (ianfu) yang menanggung beban pahit sejarah. Temuan ianfu di Maluku ini sungguh penemuan yang sungguh luar biasa berharga bagi pengungkapan kasus kejahatan Militer Jepang di Indonesia. Tidak hanya itu, ianfu di Maluku menjadi sebuah data yang melengkapi bagi perjuangan dan usaha untuk mengungkap dan menegakan keadilan untuk kasus kejahatan Militer Jepang terhadap perempuan-perempuan di Indonesia.
Upaya menghalangi hal tersebut, sama saja mengingkari keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan oleh pelaku sejarah untuk bangsa dan generasi saat ini. Untuk itu upaya-upaya seperti ini musti didukung dan didorong terus sebagai salah satu usaha penegakan martabat bangsa yang sudah lama tercabik. Hal itu dilakukan dengan menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan bagi para pelaku sejarah dan korban invasi Militer Jepang.


 Oleh Anugerah Saputra, Peneliti Romusha Jepang di Indonesia

Kemanusiaan Hukum dan Politik

Sepertinya menarik, agak nyerempet filsafat dikit.

Sepertinya mana yang lebih dulu hukum atau politik adalah kembali keasal kata itu sendiri, mana yang tetap mana yang mengalami perluasan.

Hukum sudah ada sebelum manusia lahir pertama kali kedunia, kalo ana di forum atheis mereka akan tertawa jika kita bilang sunatullah. hukum Allah. sama halnya ketika kita mengatakan:

Bumi diciptakan....(relijius) Allah
Bumi tercipta....(atheis) kebetulan

Kalo menurut ana hukum pertama kali dibuat oleh manusia tujuannya untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat hidupnya agar aman dan terkendali, jadi wajar jika hukum "made in Human" itu bisa berbeda-beda, lain halnya dengan Hukum Allah (universal dan paripurna).
maka dalam islam akan dibedaan Hukum kauniyah (sunatullah) yang tdk tertulis dan Hukum Alqur'an/Qudsi atau hadits (tertulis).

Jadi dalam hukum sudah pasti ada unsur kemanusiaan dan politik.

lalu apa itu kemanusiaan? sedang perasaan tdk selalu baik dan logika tdk selalu benar.

kalo politik mah istilah laen strategi, soal kotor tidaknya tergantung siapa yg mau menjalankan hukum, hukum Allah atau hukum manusia (hawa nafsu)?
politik kan cuma alat/sarana untuk mendisplinkan manusia atau untuk menguasai dan mengkebiri hak-hak manusia seperti firaun?

kalo dua kejadian diatas @kang maman dan @AM, ana melihat cuma soal moralitas, soale siapa yang benar atau salah keduanya terlihat menjadi tidak penting karena ada yang mau memaafkan dan bijaksana. (mobil yg ditabrak motor dan tukang baso yg diserempet mobil)

17:7. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri...

jadi ada istilah ngalah/memaafkan bukan berarti kalah, tapi Allah menambah kebijaksanaan padanya dan pahala dunia dan diakherat asal ikhlas lillahita ala. Insya Allah.
Kang Maman (27 Desember 2006, 11:40:37):

--- Kutip dari: abunawas pada 22 Desember 2006, 18:11:47 ---Sepertinya menarik, agak nyerempet filsafat dikit.

Sepertinya mana yang lebih dulu hukum atau politik adalah kembali keasal kata itu sendiri, mana yang tetap mana yang mengalami perluasan.

Hukum sudah ada sebelum manusia lahir pertama kali kedunia, kalo ana di forum atheis mereka akan tertawa jika kita bilang sunatullah. hukum Allah. sama halnya ketika kita mengatakan:

Bumi diciptakan....(relijius) Allah
Bumi tercipta....(atheis) kebetulan


--- Akhir Kutipan ---

Sesuai dengan kata yang di"bold" di atas saya masih kurang paham, mohon dijelaskan lagi.  Apakah yang dimaksud hukum yang tetap itu?  Ketentuan / Hukum Allah kah maksudnya?
Kalau demikian maksudnya,  apakah sekarang kita sedang "dihukum" oleh Allah ?  Lebih lanjut lagi pertanyaannya adalah apakah salahnya manusia itu ?  Apakah benar bahwa Allah telah menghukum kita? Mohon sharingnya.



--- Kutip ---Kalo menurut ana hukum pertama kali dibuat oleh manusia tujuannya untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat hidupnya agar aman dan terkendali, jadi wajar jika hukum "made in Human" itu bisa berbeda-beda, lain halnya dengan Hukum Allah (universal dan paripurna).
maka dalam islam akan dibedaan Hukum kauniyah (sunatullah) yang tdk tertulis dan Hukum Alqur'an/Qudsi atau hadits (tertulis).

Jadi dalam hukum sudah pasti ada unsur kemanusiaan dan politik.


--- Akhir Kutipan ---

Hukum yang buatan manusiakah yang pasti ada unsur kemanusiaan dan politik itu?  Ataukah justru ketika hukum dijalankan justru tidak memerlukan lagi politik dan kemanusiaan?


--- Kutip ---lalu apa itu kemanusiaan? sedang perasaan tdk selalu baik dan logika tdk selalu benar.
kalo politik mah istilah laen strategi, soal kotor tidaknya tergantung siapa yg mau menjalankan hukum, hukum Allah atau hukum manusia (hawa nafsu)?
politik kan cuma alat/sarana untuk mendisplinkan manusia atau untuk menguasai dan mengkebiri hak-hak manusia seperti firaun?

--- Akhir Kutipan ---

Dengan politik maka hukum (dalam arti luas) buatan manusia bisa dirubah sesuai dengan sistem politik yang dipakai, misalnya apakah dengan suara terbanyak(simple majority), ataukah dengan sistem politik tangan besi(otoriter).

Mohon "sharing"nya.

Terima kasih.
abunawas (30 Desember 2006, 13:43:38):

--- Kutip dari: Kang Maman pada 27 Desember 2006, 11:40:37 ---
--- Kutip dari: abunawas pada 22 Desember 2006, 18:11:47 ---Sepertinya menarik, agak nyerempet filsafat dikit.

Sepertinya mana yang lebih dulu hukum atau politik adalah kembali keasal kata itu sendiri, mana yang tetap mana yang mengalami perluasan.

Hukum sudah ada sebelum manusia lahir pertama kali kedunia, kalo ana di forum atheis mereka akan tertawa jika kita bilang sunatullah. hukum Allah. sama halnya ketika kita mengatakan:

Bumi diciptakan....(relijius) Allah
Bumi tercipta....(atheis) kebetulan


--- Akhir Kutipan ---

Sesuai dengan kata yang di"bold" di atas saya masih kurang paham, mohon dijelaskan lagi.  Apakah yang dimaksud hukum yang tetap itu?  Ketentuan / Hukum Allah kah maksudnya?
Kalau demikian maksudnya,  apakah sekarang kita sedang "dihukum" oleh Allah ?  Lebih lanjut lagi pertanyaannya adalah apakah salahnya manusia itu ?  Apakah benar bahwa Allah telah menghukum kita? Mohon sharingnya.



--- Kutip ---Kalo menurut ana hukum pertama kali dibuat oleh manusia tujuannya untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat hidupnya agar aman dan terkendali, jadi wajar jika hukum "made in Human" itu bisa berbeda-beda, lain halnya dengan Hukum Allah (universal dan paripurna).
maka dalam islam akan dibedaan Hukum kauniyah (sunatullah) yang tdk tertulis dan Hukum Alqur'an/Qudsi atau hadits (tertulis).

Jadi dalam hukum sudah pasti ada unsur kemanusiaan dan politik.


--- Akhir Kutipan ---

Hukum yang buatan manusiakah yang pasti ada unsur kemanusiaan dan politik itu?  Ataukah justru ketika hukum dijalankan justru tidak memerlukan lagi politik dan kemanusiaan?


--- Kutip ---lalu apa itu kemanusiaan? sedang perasaan tdk selalu baik dan logika tdk selalu benar.
kalo politik mah istilah laen strategi, soal kotor tidaknya tergantung siapa yg mau menjalankan hukum, hukum Allah atau hukum manusia (hawa nafsu)?
politik kan cuma alat/sarana untuk mendisplinkan manusia atau untuk menguasai dan mengkebiri hak-hak manusia seperti firaun?

--- Akhir Kutipan ---

Dengan politik maka hukum (dalam arti luas) buatan manusia bisa dirubah sesuai dengan sistem politik yang dipakai, misalnya apakah dengan suara terbanyak(simple majority), ataukah dengan sistem politik tangan besi(otoriter).

Mohon "sharing"nya.

Terima kasih.

--- Akhir Kutipan ---

saudaraku kang maman, saya fikir kita harus mengacu dahulu pada setiap definisi dari kata hukum (law) dan politik itu sendiri.

mana yng lebih dahulu hukum atau politik, tentunya akan mengarah kepada awal penciptaan manusia pertama kali.
Hukum yg sudah berlalu sejak sebelum manusia turun ke bumi istilahnya Hukum Allah (kauniyah), sudah pasti politik belum ada.
setelah manusia membentuk komunitas (kelompok) barulah rule/aturan atau produk hukum sederhana dibuat manusia, awalnya "hukum yang tidak tertulis"
tujuan hukum dibuat untuk dinamisator dan stabilisator biarpun pada lingkungan yg terkecil.

jika "produk hukum manusia" dirasakan hanya memihak suatu kelompok dan golongan atau penguasa, artinya hukum yang tidak adil, tercemar unsur "politik" yang merupakan istilah lain dari siasat atau strategi.

saya jelaskan dalam istilah2 ke-indonesia-an agar mudah diserap.
disini pentingnya kita sedikit memahami mengenai etimologi kata dan terminologi bahasa, selain definisi itu sendiri.

lalu yg tetap adalah istilah "hukum" itu sendiri, sedang yang mengalami perluasan adalah istilah politik, yg kata paling sederhananya adalah siasat atau strategi.
analoginya jika musyawarah sama dengan demokrasi, demokrasi mengalami perluasan makna yang memiliki istilah lain (kontent) seperti partai, pemilu, voting dan parlemen.

"Jadi dalam hukum sudah pasti ada unsur kemanusiaan dan politik."

sudah pasti jika produk hukum yang membuatnya manusia pasti ada unsur kemanusiaan baik berupa hawa nafsu, akal, hati nurani...

pertanyaanya apakah hukum Allah memenuhi unsur kemanusiaan?

kelak memang masalah hukum akan berujung pada LAW AND ORDER

atau rule and enforcement, dimana kaidah2 hukum itu berlaku.

contoh, kaidah:
"hukum sebaik apapun tidak akan berguna tanpa adanya eksekusi dari hukum itu"

dinegara ini anggep saja uud, kuhp dan produk2 hukum lainnya sudah cukup bagus, tapi pelaksanaan dilapangan sendiri bagaimana? ordernya?

nah, nanti soale pelaksanaannya menggunakan asas "kekeluargaan" atau tegas itu soal "order"
bahkan dalam memerangi kelompok provokator, penghianat dan pemberontak dibutuhkan "tangan besi/militer"
jadi nanti lihat niat dan tujuannya penggunaan "tangan besi" tsb, atas nama hukum yg adil atau kepentingan "pribadi".

makanya "negara" bisa dikatakan benar2 negara jika memiliki kedaulatan yang sesungguhnya,

- Law and Order yang baik
- memiliki hankam yang kuat, solid dan tangguh,

contoh "singapura" biar kecil cabe rawit.

saya suka sun tzu berkata "menguasai/berkuasa atas lawan tanpa berperang (pertumpahan darah) dengan lawan"
jadi konsep "bargaining power" secara politik, ekonomi dan militer negara2 lain sudah kecut.

Jika perkataan sun tzu ini terbukti dengan cina, ada baiknya kita tiru cara cina dalam hal hal tsb.

demikianlah penjelasan saya, semoga dimengerti.
itulah yang saya fahami dan bisa saya jelaskan, silahkan para pakar hukum dan politik memberi komentar, atas pertanyaan kang maman dan tulisan saya yg sangat sederhana dan masih perlu koreksi. terima kasih.
abunawas (30 Desember 2006, 22:03:21):
orang yang belajar ilmu hukum pasti akan memahami bahwa kaidah2 hukum harus menjadi landasan pokok:

misalnya:
- membuat rasa takut (fear) untuk melanggar hukum
- membuat efek jera terhadap pelaku
- proses hukum yang adil dan tidak birokratis

order inilah yang sering jadi masalah, karena "manusia" yang menjalankan.
maka tak aneh dibeberapa kepercayaan agama samawi atau agama ardhi ardhi ada "keyakinan" jika manusia tak mau bukan "tdk mampu" berbuat/bertindak adil terhadap proses2 hukum kepada mahluk, maka Sang Khalik / Allah swt sendiri yang akan mendatangkan "bencana" kepada manusia karena melanggar "hukum Allah" dimuka bumi.

"manusialah yg mendholimi dirinya sendiri, mereka punya akal tdk digunakan untuk berfikir, punya hati tdk digunakan untuk "merasa", punya mata, telinga tdk digunakan untuk melihat dan mendengar." begitulah Allah yang berfirman Dalam Alquran yang suci dan mulia.  :toe:

mari kita bercermin terhadap bangsa ini, semoga mencerahkan.
ARS (16 Januari 2007, 06:24:02):

--- Kutip dari: Abdul_Maliksyah pada 18 Desember 2006, 09:40:26 ---Terima kasih Mas ARS (salah seorang myqer senior yg background Hukum)  :)

Bagaimana menarik hubungan antara Kemanusiaan (yg milik manusia), Hukum (milik kelompok manusia), dan Politik (prosesnya dilakukan oleh manusia/ politik)

Bagaimana menempatkan persoalan kemanusiaan dalam konteks Hukum dan Politik ?
(ini jadi seperti kuliah Hukum dan Politik semester awal)

Apakah kemanusia memang merupakan dasar yg diakui, mendasar dan lebih tinggi dari Hukum dan Politik ?
Atas dasar argumen kemanusiaan (kebenaran universal, misalnya adil/ samarata dimata hukum, jangan merugikan orang lain, dsb), apakah hukum yg merupakan produk politik boleh  di"langgar" ?   ;)

Salam.



--- Akhir Kutipan ---

Saya ga pernah dapat kuliah Hukum & Politik, tapi untuk menjawab pertanyaan di atas, ada dua paragraf yang saya ingat dari buku "Ilmu Negara"-nya Prof. Soehino. Selengkapnya sebagai berikut:

--- Kutip ---...Bagaimanakah hukum itu dapat berlaku terhadap negara, sedangkan hukum itu sendiri terlepas dari negara? Dalam hal ini Krabbe mendasarkan teorinya, bahwa tiap-tiap individu itu mempunyai rasa hukum dan bila rasa hukum itu telah berkembang menjadi kesadaran hukum. Rasa hukum itu terdapat pada diri tiap-tiap individu di samping rasa-rasa lainnya, misalnya rasa susila, rasa keindahan, rasa keagungan dan sebagainya. Jadi kesadaran hukum itu adalah salah satu fungsi daripada jiwa manusia, yang mengadakan reaksi terhadap perbuatan-perbuatan manusia dalam perhubungannya dengan manusia-manusia lain dalam kehidupannya bermasyarakat.

Dengan demikian menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia. Terhadap banyak hal manusia itu mengeluarkan perasaannya, sehingga orang dapat membedakan adanya bermacam-macam norma, dan norma-norma itu sebetulnya terlepas dari kehendak kita, oleh karena itu kita lalu mau tidak mau tentu mengeluarkan reaksi, untuk menetapkan mana yang baik, mana yang adil dan sebagainya.
--- Akhir Kutipan ---

Dengan kata lain, hubungan antara rasa/kemanusiaan, hukum dan kemudian politik bisa dijabarkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki rasa hukum dan ketika mereka telah menjalin hubungan yang sedemikian kompleksnya dengan manusia lainnya mereka memerlukan suatu aturan yang dapat menjamin keamanan dan ketertiban rasa-rasa yang ada pada diri manusia itu sendiri, termasuk kemanusiaan. Pada titik inilah muncul sebuah proses kesadaran hukum yg lambat laun akan memunculkan suatu produk hukum yang konkrit demi mencapai tujuan itu (menjamin rasa/kemanusiaan). Hingga akhirnya, ketika mereka bersepakat untuk bergabung dalam suatu wilayah dan membentuk pemerintahan yang dimandatkan untuk mengatur seluruh perikehidupan mereka, maka pada titik ini bisa dibilang telah terjalin suatu proses komunikasi politik, sebab untuk mencapai kata sepakat untuk menentukan bagaimana bentuk negara, pemerintahan, dsb.. itu perlu suatu proses politik. Bahkan, bisa dikatakan juga, sebenarnya ketika manusia mencari kata sepakat untuk membuat produk hukum secara konkrit, disana telah timbul benih-benih proses politik.

Selanjutnya, mengenai penempatan Kemanusiaan dalam konteks Hukum dan Politik, kalau merujuk pada teori The Living Law, jelas kedudukannya akan berada di atas 2 kata yang terakhir disebutkan. Sebab, manusia adalah lingkungan kehidupan dari hukum dan politik itu sendiri. Atau bisa dibilang, hukum dan politik itu hanya ada pada dan selama manusia itu ada. Tanpa adanya manusia, maka mustahil ada hukum & politik.

Perombakan pada aturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, sepenuhnya bergantung pada manusia itu sendiri. Contohnya dapat kita lihat pada proses penyelenggaraan negara dewasa ini. Bisa dikatakan, hampir seluruh negara di dunia ini menyelipkan keniscayaan amandemen (perubahan) pada konstitusi mereka. Konstitusi sebagai hukum dasar negara yang seharusnya menjadi acuan utama dalam tiap praktik penyelenggaraan negara mengapa secara tegas diberi kemungkinan untuk diubah? Bahkan, amanat perubahan itu telah ditetapkan ketika konstitusi itu pertama kali dibuat. Menakjubkan bukan?

Artinya, para perumus hukum dasar memang menyadari betul akan dinamika kehidupan manusia yang senantiasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, sehingga agar hukum itu senantiasa relevan dengan kehidupan manusia, maka hukum itu harus dibuat sefleksibel mungkin meskipun tidak terlalu longgar. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka percayalah kalau hukum yang pada satu masa dapat berlaku secara efektif untuk menjamin keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan manusia, akan menjadi sampah pada masa berikutnya atau bahkan menjadi gerbang tirani yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri.

Sehingga, penetapan atau perubahan terhadap hukum, sepenuhnya tergantung pada manusianya sebagai akibat dan tuntutan dinamisasi kondisi sosial dan politik di dalam suatu negara.

Demikian penafsiran saya, maaf kalau kurang tepat/salah dalam menyampaikan.

Sumber :  http://myquran.org

Politik untuk Kemanusiaan

Akhir-akhir ini, nurani kebangsaan kita terusik. Laku para politisi bak akrobatik. Seperti senjata, politk dijadikan alat menyandera lawan. Seperti juga produk, atas nama rakyat, politik diperjualbelikan.

Kasus Skandal Bank Century menguap, membentuk power sharing dengan nama Sekretariat Gabungan. Mafia Hukum dan Mafia Pajak diakhiri drama voting yang sebelumnya telah disandera dengan ancaman pemotongan jabatan (baca : reshuffle) atau iming-iming kursi.

Realitas

Terbaru, rakyat bagai ditampar oleh rencana pembangunan gedung baru DPR yang rancangannya saja menghabiskan dana Rp. 14,5 miliar. Padahal angka kemiskinan masih sangat besar, 30 persen atau labih dari 70 juta jiwa dari total penduduk Indonesia (versi PBB dengan pendapatan dibawah Rp. 18.000/hari).

Sementara di sisi lain, kinerja DPR nihil. Sepanjang tahun hanya diisi plesiran dengan term studi banding. Dari 70 drfat RUU yang harus diselesaikan tiap tahunnya, hanya 14 yang beres.

Rancangan bangun politik Indonesia sejak negeri ini digagas oleh para founding father, belum menemukan ruang makna yang baku. Politik yang satu paket dengan kekuasaan tak lebih dari sebuah prestise akan kuasa aktualisasi diri sebagaiamana teori motivasi yang lahir dari rumusan Abraham Maslow.

Oleh Maslow, manusia manusia dikatakan akan mencapai titik kepuasan ketika semua hal tersebut terealisasi. Dan tingkatan tertinggi dari tujuan hidup manusia adalah aktualisasi diri.

Oleh sebagian besar pelakunya, politik dianggap sebagai satu medan aktualisasi yang hampa subtansi. Sepintas, hal ini dapat kita baca dari laku para politisi yang mengkristal menjadi opini public. Politik itu kotor, demikian sering kita dengar masyarakat apatis terhadap politik dan para pelakunya.

Tentu suatu keresahan dengan stigma negative tersebut, bahwa masih ada poitisi langka yang tulus bekerja untuk rakyat. Tidak selalu politik itu kotor. Menjadi penting memurnikan kembali makna politik dengan pendekatan universal. Redefinisi tentang Negara dan politik, lahir dari dimensi ruang dan waktu yang diametral.

Politik lahir dari bahasa Yunani, yaitu Politeia atau politicos yang berakar dari kata "polis". Kurang lebih dapat diterjemahkan dengan kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak bahasa menerjemahkan Politeia sebagai Negara (bahasa Inggris : The State), termasuk bahasa Belanda (De staat) dan bahasa Jerman (Der Staat).

Konsep politeia dalam bahas Yunani kuno dianggap sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai masyarakat'.

Memotret pandangan Plato tentang Negara ideal. Plato, filusuf Yunani yang banyak mengilhami praktek politik modern, 5 abad SM telah membuat sebuah rumusan tentang keadilan (justice) dalam negara idea (idea state) , yaitu Negara yang menjunjung tinggi keadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya. Salah satu ciri negara ideal menurut Plato adalah melayani kebutuhan dasar manusia dalam rangka membangun kualitas kemanusiaan.

Islam dan Politik

Dari makna politik sebagaimana dijelaskan di atas, berarti bahwa relating to a citizen, kata politik yang berakar kata polis yang berarti kota tersebut, dalam bahasa Al Qur'an dikenal dengan kata Al Madinah dengan segala variabel negara yang ada di dalamnya. Ibnu Khaldun di dalam Mukaddimahnya menegaskan bahwa kota merupakan ciri kemajuan (hadharah). Menurut Ibnu Khaldun, setiap kedaulatan membutuhhkan kota dan dituntut untuk menguasainya. Alasannya karena kota dapat melindungi kedaulatan untuk stabilitas masyarakat.

Lebih jauh, politik dalam Islam merupakan derivan dari bahasa Arab, siyasah dari kata saasa yang artinya memimpin, memerintah, mengatur, melatih, dan manajemen (Farid Nu’man : 2009). Imam Nawawi Rahimahulah mengatakan tentang politik (siyasah) yaitu menegakkan atau menunaikan sesuatu dengan apa yang bisa memperbaiki sesuatu itu (Al Minhaj, 6/316).

Secara lebih eksplisit, Ibnu Taimiyyah atau Al-Mawardi merestriksi politik dalam bentuk tindakan yang harus legitimate dari nash. Oleh karena itulah ada kaidah-kaidah syari'ah yang dipenuhi dalam aktivitas politik. Inilah yang menyebabkan perspektif politik dalam Islam memiliki dimensi moral yang sangat kuat.

Kejujuran tak dapat dipungkiri adalah nilai universal yang menempatkan moral keberagamaan dalam semua aktivitas politik. Al-Qur'an telah memberikan sinyalemen "Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan" (Q. S. Ash-Shaff: 3).

Pandangan-pandangan diatas mereduksi tindakan politik yang penuh rekayasa dengan menggunakan kekuasaan politik dan mengindikasikan perbuatan yang menyelisihi nilai kejujuran. Sering berakibat pada lahirnya argumentasi dipenuhi term apologetik, sehingga subtansi politik menjadi absurd dan terjadi kamuflase dalam bernegara. Politik panggung sandirwara, menyajikan tontonan penuh intrik hampa akan makna.

Kerancuan yang menyebabkan timbulnya praktek politik meyimpang, terjadi karena bebagai faktor. Pertama, disorientasi 'pengertian politik'. Misalnya mengkooptasi makna politik pada sekedar cara mencapai tujuan, cukup sampai disitu. Sebagaimana di ajarkan kelas-kelas ilmu politik di universitas, politik tidak lagi dipandang secara filosofis.

Kedua, Persepsi yang salah tentang subtansi politik. Ketika politik dipersespsi sebagai pekerjaan, pada akhirnya orang-orang akan berlomba dengan berbagai cara demi meraih tampuk kekuasan politik dan disana mereka akan bekerja, memenuhi tuntutan kebutuhan material.

Ketiga, system perpolitikan yang masih absurd dan multi tafsir. Ketidak jelasan jenis kelamin system politik yang dianut, melahirkan kebingungan. Keempat, terpengaruh oleh sejarah politik di masa lalu. Ada semacam political traumatic sehingga yang terjadi adalah saling balas dendam antar berbagai partai yang mewakili ideology poitiknya masing-masing.

Kelima, heterogenitas ideology politik. Merupakan sebuah kenyataan, setiap partai politik lahir, tumbuh dan bergerak dari fundamen ideology politik beragam.

Ke enam, kekuatan politik global. Bahwa proses politik yang terjadi di dalam suatu Negara tidak pernah lepas dari kepentingan global. Maka pemegang kekuasaan (baca: politisi), harus mampu memetakan kekuatan politik global dengan memegang teguh nilai-nilai kedaulatan sebagai suatu bangsa.

Politik Untuk Kemanusiaan

Melihat realitas politik di Indonesia, maka perlu adanya mainstream baru dalam berpolitik. Gagasan yang mengembalikan makna filosofis dan spiritual politik dalam prakteknya. Politik berbasis nilai dan subtansi. Elaborasi falsafah politik moral dan politik Islam lebih lanjut menjadi gagasan menarik dalam kerangka humanisme.

Dalam hal ini politik untuk kemanusiaan menjadi ide orisinil dan oase di tengah sahara demokrasi Indonesia. Sebagaimana teori politik yang digagas oleh Plato dan para filusuf termasuk Ibnu Khaldun, juga praktek politik yang djalankan oleh Rasulullah Saw serta empat khulafaur rasyidin.

Ragam tipologi politik tersebut dari gagasan ke aksi telah terbukti memanusiakan manusia. Politik pun mampu menyatu dengan niai-nilai agama sebagai penopang utama dan frame moralitas.

Politik tidak bisa dipisahkan dengan elemen kehidupan lainnya, dalam hal ini adalah kehidupan ekonomi. Karena bentuk pemberdayaan politik sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw maupun beberapa pemimpin pada generasi selanjutnya –misalnya Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Al Makmun, Harun Al Rasyid hingga Sulaiman Al Qanuni di Turki-, tidak memisahkan ekonomi dalam kehidupan politik kenegaraan. Pun praktek politisi yang menjadikan politik sebagai komoditas sehingga mengaburkan makna politik, juga tidak terlepas dari motif ekonomi.

Olehnya itu, pemberdayaan ekonomi dalam kerangka politik merupakan bentuk bottom up dari upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berkaca pada teori kapitalis Adam Smith yang menjadi landas pacu rusaknya system kenegaraan dan politik saat ini, serta jatuhnya ekonomi dalam kelompok kapitalis, tidak terlepas dari teori kebebasan tanpa campur tangan dari pemerintah. Tantangan ini juga perlu dirumuskan solusinya.

Prof. Miriam Budiarjo, ilmuwan politik Indonesia , menguraikan bahwa politik merupakan sarana untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation), dari sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kekuasaan diperlakukan baik untuk melakukan kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.

Senada dengan Miriam, Prof. Kunto Wijoyo dalam tafsir kepemimpinan profetik, menegaskan bahwa salah satu karakter pemimpin profetik adalah membawa misi humanisasi. Yaitu amar ma'ruf atau menyeru manusia kepada kebaikan.

Dalam perspektif kemanusiaan, inilah yang diamini oleh Rasulullah Saw sebagai sebaik-baik manusia. Seperti dinukil di dalam hadits "khairun nas 'anfauhum linnas yang berarti sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama", termasuk memberi manfaat dari panggung politik.

*Penulis adalah analis Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute dan Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)


Jusman Dalle

Sumber : http://www.phylopop.com

POLITIK KEMANUSIAAN SANG DOKTER

Tergerak oleh rasa kemanusiaan, ia mendirikan organisasi medis gawat darurat dan terjun bersama para relawan ke medan konflik untuk menolong para korban.
Pada tahun 1999, ketika konflik di Maluku berkecamuk, Jose Rizal Jurnalis yang saat itu tergabung dalam Tim Medis Mahasiswa (TMM) UI, berniat pergi ke lokasi konflik dan melakukan pertolongan.
“Saya melihat ada banyak yang mati dan luka di sana, tetapi kok tidak ada dokter yang berangkat dan terlibat di sana?” kenangnya.  Lalu ia bersama rombongan dokter berangkat ke Tual, Maluku Tenggara pada April 1999. Saat itu terjadi kerusuhan antar pemeluk agama di kawasan tersebut.
“Kami bertugas dengan ekstra hati-hati dan memilih RSUD Tual sebagai lokasi netral untuk menolong para korban,”tutur Jose yang mengaku di situlah ia pertama kali melihat konflik.
“Saat itu saya melihat dokter di sana juga sudah terlibat secara emosional. Sebenarnya kita harus tetap harus netral dan  tidak boleh membedakan orang yang kita tolong.”
Berdasarkan pengalaman menolong para korban di daerah konflik tersebut, maka pada tanggal 14 Agustus 1999, dokter yang pernah bercita-cita menjadi ahli nuklir ini  bersama tujuh rekan dokter dan beberapa mahasiswa FK UI, mendirikan MER-C.
Sebagai sebuah organisasi kemanusiaan yang mampu bergerak cepat di daerah gawat darurat medis, hingga saat ini MER-C sudah memiliki cabang di berbagai daerah, di antaranya Jakarta, Yogyakarta, Malang, Manado, Surabaya, Surakarta, Semarang, Medan bahkan di Jerman. Organisasi ini tidak hanya terjun ke kancah konflik untuk menolong para korban, namun juga melakukan sejumlah kampanye kemanusiaan. April 2002, Jose melakukan kampanye tentang Ambon-Maluku di sejumlah negara termasuk Inggris, Jerman, Belgia dan Belanda.
“Saat itu saya sudah siap berbicara di depan parlemen Eropa, tetapi tidak diijinkan oleh kedutaan RI di Belgia. Padahal duta kita di Uni Eropa saat itu Nasrudin Sumintapura sudah mengijinkan. Akhirnya saya bicara di parlemen federal Belgia,” kenangnya.
“Saya menjalankan politik kemanusiaan untuk menolong orang-orang yang lemah dan terabaikan,”kata dokter yang juga pernah menangani kasus pencemaran Teluk Buyat oleh Newmont. Tak terhitung berapa kali ia terjun sebagai tim bedah di sejumlah lokasi berbahaya seperti di Ambon, Tobelo, Saparua, Afghanistan, Irak, Sudan dan Thailand.
Melihat gencarnya aktivitas medis yang dijalankan organisasi ini, pertanyaan yang sering muncul adalah tentang dana.
“MER-C banyak mendapat sumbangan dana dari masyarakat. Pemerintah juga sesekali membantu dana seperti ketika kami akan mendirikan mesjid di Gaza. Selain itu, dukungan terbesar dari pemerintah adalah pemberian ijin, pengurusan visa, dan penggunaan pesawat Hercules saat ke Afganistan,”tutur Jose.
“Kami sedang merencanakan untuk mengirim relawan ke Urumqi pasca kerusuhan etnis di sana awal Juli lalu,”terangnya. Dokter berstatus sebagai PNS ini beruntung memiliki keluarga yang sangat mendukung kegiatannya tersebut. Tetapi kadang ia juga perlu memberi pengertian kepada anak-anaknya.
“Mereka sering mengritik kalau saya terlalu sering menjadi relawan. Tetapi saya harus bisa meyakinkan anak-anak bahwa saya tidak akan mengesampingkan mereka,”tutur pria kelahiran padang tersebut.
“Saya tidak pernah menyesal dengan keputusan saya menjadi relawan medis di medan konflik,” katanya tenang. “Tetapi siapa bilang saya tidak pernah takut saat berada di lokasi? Saat di Afganistan, kami pernah merasakan sejak tengah malam hingga subuh kota terus dibombardir karena kami berada di tengah pertempuran itu.”
Jose menyebut semua tugas yang pernah dilakukannya sebagai tugas berat. Meskipun demikian, ia selalu terpanggil kembali ke lokasi-lokasi yang sarat konflik.
Menurut Jose, sebenarnya ada banyak dokter yang ingin bergabung dengan MER-C, tetapi biasanya terbentur pada masalah perijinan, baik dari keluarga maupun tempat kerja mereka.
“Sebenarnya Anda tidak harus menjadi dokter untuk bisa bergabung dengan MER-C. Jika Anda pun tidak punya keberanian untuk dikirim ke medan konflik, kami masih memerlukan relawan untuk membantu di daerah yang terdampak bencana alam. Selain itu waktunya fleksibel. Tetapi yang harus diingat, komitmen dan ikhlas.”
Dokter berdarah Minang ini menyebutkan sederetan profesi yang bergabung dengan organisasi tersebut seperti notaris dan insinyur.
“Saat kami hendak membangun rumah sakit di Gaza, kami juga memerlukan jasa insinyur untuk membuat disainnya. Apapun profesi Anda, insinyur, dokter, notaris, setidaknya berkumpullah untuk mendengarkan pengalaman rekan-rekan lain yang pernah terlibat di kegiatan MER-C.”
Sebagai organisasi yang berlandasakan nilai-nilai Islam, MER- C tidak membatasi keanggotaannya.
“Pada saat aksi di lapangan, ada banyak rekan non-muslim yang bergabung,” tegas Jose yang seakan menegaskan bahwa sebagai organisasi kemanusiaan, MER-C bukanlah sebuah organisasi yang eksklusif.
“MER-C adalah wadah bagi siapa saja yang ingin melampiaskan dahaga hatinya untuk hal-hal yang bersifat kemanusiaan dan keikhlasan,”tuturnya.
“Tidak ada imbalan materi yang bisa Anda dapatkan jika Anda bergabung dengan organisasi ini. Tetapi jika Anda adalah orang yang haus untuk menolong sesama tanpa pamrih, MER-C bisa menjadi wadah yang tepat,”tutur dokter ini bersemangat.
*)(dr. Jose Rizal Jurnalis Sp. OT, 46 tahun, dokter spesialis bedah tulang dan traumotologi, pendiri dan relawan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). 
*)Pernah dimuat di majalah BEST LIFE Agustus 2009. Diedit untuk keperluan blog Agustus 2011)

 http://merekabicara.wordpress.com
About these ads

Aspek Humanisme Dalam Pemikiran Politik Soekarno

Oleh:
Bob Randilawe
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila II: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab"

Humanisme atau kemanusiaan mengandung arti bahwa akal budi nurani manusia merupakan pengendali atau main control atas setiap pemikiran dan tindakan seseorang. Dimana akal budi nurani (Humanisme) ditopang oleh nilai-nilai ketuhanan, rasa keadilan, kehendak untuk merdeka dan hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi serta kehidupan social yang berkemakmuran dan berkedaulatan. Semua itu adalah nilai universal yang terkandung dalam paham kemanusiaan (human kind is one).

Berkali-kali dalam berbagai pidato dan uraian politiknya, Soekarno menerangkan tentang makna kemanusiaan dalam pidato pancasila 1 Juni, sampai-sampai ia mengutip ungkapan Mahatma Gandhi bahwa “My Nationalism is Humanity”; nasionalisme ku adalah kemanusiaan. Apa maksud Bung Karno dengan kata-kata itu? Agaknya menarik untuk dikaji makna dan relevansi dari ungkapan tersebut agar kita sebagai kader patriotic dan sukarnois sejati tidak kehilangan haluan dalam memperjuangkan ideology pancasila dan pemikiran Marhaenisme ajaran Bung Karno, ditengah arus kuat globalisme dan neoliberalisme yang demikian massive dewasa ini.

Kutipan itu juga memastikan bahwa Soekarno ‘merasa cocok’ dengan Gandhi dalam soal itu, walau terbukti Gandhi gagal menjaga keutuhan Negara India Raya yakni terpisahnya India Barat menjadi Pakistan dan India Timur yang menjadi Bangladesh. Namun jelas Soekarno menentang Nasionalisme Koboi (Jinggo Nasionalisme), atau Nasionalisme Kolot Tertutup Merasa Benar Sendiri (Chauvinism) atau Nasionalisme Isolasionis yang serba anti barat (Xenophobia). Nasionalisme Bung Karno adalah yang progresif revolusioner untuk cita-cita politiknya. Bung karno menolak paham kebangsaan yang lembek dan ‘luwes’ untuk hal yang bersifat ideologis. Nasionalisme Bung Karno adalah nasionalisme yang beridentitas kebangsaan dan kesadaran yang tinggi (bewust).

Walau kebebasan adalah tema terpenting dalam humanism, tapi kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan mutlak dan absolute (Liberalism). Kebebasan yang diperjuangkan Bung Karno adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, yang berperikemanusiaan. Kebebasan manusia dengan batas atau kaidah alam, sejarah dan masyarakat. Dengan kata lain humanism yang berkaitan dengan nilai kemerdekaan sebagai unsure Hak Asasi Manusia (dalam Bob Randilawe, Nilai Humanisme dalam Pemikiran Politik Sukarno, 2003, hlm.1).

Perlu juga dicatat bahwa Humanisme Bung Karno tidak menyangkal adanya factor metafisik atau keilahian. Sebagai substansi kemanusiaan, hal ini menghantar kita untuk bisa menjelajahi elemen kemanusiaan secara kosmologis dan sufistik. Sebagaimana Soekarno sering mengutip ayat bermacam kitab suci, samawi maupun bumi, dalam uraiannya tentang pancasila.

Demikian poin pemikiran saya sekedar sebagai pengantar dalam rangka diskusi bulanan yang diadakan Pengurus Pusat Alumni GMNI di Cikini Jakarta tentang Kajian atas Sila Kemanusiaan dalam Pancasila, MERDEKA!!!

Jakarta 27 September 2012
Bob Randilawe

Sumber :  http://gmnifisipui.weebly.com