Indra J Piliang, Peneliti CSIS, Jakarta
MORATORIUM politik mestinya sudah dilakukan pascaterbentuknya pemerintahan
baru. Namun, tampaknya kalangan elite-elite politik dan pemerintahan tidak
melakukannya. Malahan, berbagai jabatan ketua umum partai-partai politik,
organisasi sosial kemasyarakatan, sampai jabatan-jabatan lainnya dicoba untuk
direbut dan dimonopoli. Sumber daya manusia Indonesia seolah terbatas, karena
sejumlah jabatan bertumpuk di satu tangan. Justru yang menjadi masalah adalah
ketika jabatan-jabatan itu memerlukan komitmen tinggi, karena beragam persoalan
organisasi yang muncul.
Pascatsunami yang merenggut lebih dari 100 ribu jiwa manusia di Indonesia
mestinya menyadarkan elite-elite politik, betapa tak berdayanya pemerintah
kalau hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Kini, seolah masyarakat mengambil
alih berbagai kerja-kerja kemanusiaan atau apa yang selama ini dikenal sebagai
Operasi Terpadu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Operasi kemanusiaan yang
sudah menjadi jampi-jampi tempelan dalam pelaksanaan Darurat Militer dan
Darurat Sipil kini benar-benar dilaksanakan oleh berbagai komponen masyarakat,
termasuk dunia internasional. Kenyataannya, pemerintah tidak bisa melakukan
proses domestifikasi atas persoalan-persoalan nasional.
Kini, kita sebagai bangsa sungguh dihadapkan dengan tujuan paling mendasar dari
politik, yakni seberapa banyak jiwa-jiwa manusia bisa diselamatkan, disentuh
dan diberikan hak-hak paling dasar sebagai manusia. Kepongahan sebagai
pemerintah atau penguasa hari ini tidak bisa lagi ditunjukkan, karena
penderitaan massal yang hadir sekarang sudah demikian tak terperikan. Bahkan
keinginan untuk menjadi pahlawan atau sinterklas pun selayaknya diurungkan,
karena tak ada yang bisa memberikan jawaban: kenapa bencana itu tak bisa
diantisipasi? Kita betul-betul telah menjadi manusia bisu dan tuli, sehingga
terpaksa hanya mengandalkan naluri kemanusiaan paling hakiki.
Kita masih beruntung memiliki banyak sekali relawan dan donatur yang
menyumbangkan apa yang masih disumbangkan. Dalam keadaan ekonomi yang masih
morat-marit, juga tingkat korupsi yang tinggi atas pengelolaan dana-dana
publik, kita masih menyaksikan adanya saling kepercayaan yang dibangun. Tak
peduli siapa pun yang meminta sumbangan, banyak sekali pihak yang langsung
mengurangi uang belanjanya demi kepentingan para korban bencana.
Kecenderungan itu dapat kita saksikan dari mengalirnya bantuan yang diberikan
masyarakat kepada lembaga yang membuka posko untuk menerima bantuan. Bahkan,
perusahaan media massa yang sebagian besar ikut membuka posko bencana dengan
membuka rekening di bank, mendapatkan simpati yang luar biasa. Sebuah media
massa berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp100 miliar, jumlah yang cukup
fantastis mengingat jangka waktu pengumpulan belum satu bulan.
Kesederhanaan politik
Kepentingan politik mestinya tidak lagi menjadi acuan dalam menggerakkan energi
positif dalam konteks kemanusiaan. Pembangunan Aceh, Nias, Nabire, Alor, dan
kawasan-kawasan bencana lainnya membutuhkan waktu lama. Mungkin untuk membangun
secara fisik tidak terlalu lama, tinggal mengajukan sejumlah dana hutang kepada
negara-negara donor. Namun yang penting adalah bagaimana melakukan rekonstruksi
atas nilai-nilai keadaban tertinggi kita, sembari membuang nilai-nilai negatif
yang hinggap di masyarakat kita. Rekonstruksi yang hendak dilakukan lebih dari
sekadar rekonstruksi fisik atau infrastruktur pembangunan.
Untuk itulah, tugas politik hari ini tidak hanya sekadar melakukan prosedur
politik yang harus dipenuhi, seperti perlunya kontrol dari lembaga legislatif
atas keseluruhan program penyelamatan yang dilakukan pemerintah. Justru yang
jauh lebih dalam lagi, yakni menegaskan identitas dan ideologi kepartaian, juga
dimensi kesederhanaan dari manusia-manusia politik. Penegasan itu diperlukan,
mengingat pamor politik selama ini identik dengan kemewahan bendawi.
Elite-elite politik dan pemerintahan haruslah memulai untuk melakukan proses
manajemen darurat kemanusiaan dalam tubuhnya sendiri.
Dari presiden sampai pegawai negeri sipil yang terendah haruslah mulai
melakukan proses efisiensi penyelenggaraan pemerintah. Tidak bisa tidak,
kesederhanaan hidup menjadi inti dari semuanya. Presiden, menteri, anggota
parlemen, dan lain-lainnya mestinya menyusun rencana dan neraca untuk dirinya
sendiri guna mengurangi dampak penghambur-hamburan anggaran negara. Tidak perlu
lagi tim-tim sirkus mengiringi kunjungan pejabat-pejabat negara ke luar negeri.
Kalau perlu, seluruh acara studi banding oleh parlemen dan pemerintah pusat dan
daerah dilarang.
Presiden harus mengeluarkan instruksi, bahkan tindakan, untuk mencegah adanya
pejabat-pejabat yang menggunakan dana-dana bantuan kemanusiaan untuk
kepentingan pribadi. Bahkan dana-dana itu juga tak etis digunakan untuk
kepentingan pemerintahan, katakanlah untuk pembelian senjata menghadapi Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Selama ini, banyak sekali kasus dana-dana pengungsi
kenyataannya hanya memperkaya sejumlah orang. Indonesia yang pernah memiliki
jumlah pengungsi terbanyak di dunia, selayaknya mulai memikirkan manajemen
bencana yang lebih rapi dan profesional.
Kesempatan sebetulnya terbuka untuk melakukannya. Di tengah begitu banyaknya
kaum politikus mengendalikan jalannya pemerintahan, justru kita juga saksikan
kian berjubelnya kaum profesional dalam arus kompetisi nasional dan
internasional. Selayaknya kaum profesional ini dilibatkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Partai-partai politik kenyataannya masih memiliki keterbatasan
kemampuan, bahkan untuk mengelola partai politiknya sendiri untuk kian modern.
Selain itu, mobil-mobil kelas satu hendaknya tak lagi digunakan oleh
pejabat-pejabat negara, BUMN, parlemen, dan lain-lain. Mestinya sikap hemat
energi dan hemat biaya dijadikan sebagai gebrakan penting di tengah momentum
bencana yang terjadi. Kalau pemerintah tidak memulainya, maka apa yang disebut
sebagai weak government and strong society akan terbentuk. Masyarakat akan
meninggalkan pemerintah, karena pemerintah terlihat tidak berdaya, lumpuh,
sekaligus angkuh ketika menjalankan tugas-tugasnya.
Masyarakat baru
Apresiasi tertinggi memang pantas diberikan kepada masyarakat. Sekali lagi,
masyarakat menunjukkan sebagai pihak yang paling berinisiatif setelah pemilu
2004. Masyarakat lagi-lagi menggerakkan seluruh potensi dirinya untuk saling
menyapa, menyentuh, juga menangis. Inilah produk mutakhir dari berbagai krisis
dan bencana yang hinggap dalam tubuh bangsa ini, yakni ketika masyarakat tumbuh
begitu percaya diri mengatasi pemerintah dan, bahkan, negara.
Dulu, pada masa otoriterisme Orde Baru, masyarakat begitu lumpuh dan tak
berdaya. Pemerintah begitu kuat, sehingga masyarakat melemah. Kini, dalam arus
transisi demokrasi dan budaya yang terjadi, masyarakat justru tumbuh menjadi
entitas paling membanggakan. Siapa pun yang ingin membangkitkan kembali rezim
otoritarian di republik ini, selayaknya berpikir seribu kali menghadapi proses
perubahan di masyarakat yang begitu baik ini.
Makanya, politik pascatsunami selayaknya ditempatkan dalam konteks pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat politik haruslah memperhitungkan kepentingan masyarakat
dalam setiap program kerjanya. Ketika sejumlah elite politik potensial
terpental dalam tubuh partai-partai politik dan organisasi sosial
kemasyarakatan, sesungguhnya terhidang sejumlah fragmen lagi: betapa masyarakat
mulai menolak elitenya. Elite mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Bahkan,
dengan banyaknya elite lokal yang dituduh telah melakukan korupsi, justru
masyarakat mulai mempreteli elitenya. Revolusi sosial yang tidak berdarah ini
telah menjadi pertanda ke arah munculnya masyarakat yang sehat.
Di satu sisi tsunami telah menghancurkan Aceh, manusia, tanah dan budayanya.
Namun di sisi lain, ada yang sedang bangkit dalam tubuh bangsa ini, yakni
kesadaran masyarakatnya. Sekalipun sebagian masih dalam konteks populisme,
belum pada bentuk kesadaran yang substantif, namun kita tinggal menunggu waktu
bagi munculnya masyarakat baru itu. Masyarakat yang sedang membangun
kekuatannya sendiri, tanpa atau dengan pemerintah. Selamat datang masyarakat
baru. Berpaculah dengan pemerintahan baru.***
Sumber : http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005011901003816
Jurnal Politik Kemanusiaan
Puasa dan Dimensi Pembangunan Politik Kemanusiaan
Oleh Yahdil Abdi Harahap
Puasa Ramadhan memang merupakan ibadah vertikal (mahdlah).
Tapi, dimensinya juga sarat dengan nuansa horisontal. Dimensi ini pun
tidak hanya sosial, tapi juga menyentuh esensi kehidupan politik, baik
sebagai individu ataupun masyarakat bahkan negara.
Untuk menelusuri dimensi pembangunan politik yang ada
dalam ibadah puasa itu, kita perlu menelaah landasan dasar puasa itu
sendiri. Dalam hal ini kita dapat mencatat bahwa puasa -- secara harfiah
-- bermakna menahan diri dari keinginan (nafsu) jasmani dan ruhani,
minimal sejak terbit fajar matahari hingga terbenam. Makna harfiah ini
sebenarnya merupakan konsep bagaimana membangun pengendalian diri
manusia. Pengendalian menjadi hal krusial sejalan dengan kecenderungan
manusia yang senantiasa mengekspresikan keinginan atau nafsunya tanpa
batas, setidaknya melampau batas atau tak senang dibatasi. Sementara,
bentuk ekspresi seperti ini sering mengakibatkan ekses negatif bagi
dirinya sendiri, disamping kemungkinan bagi yang lain sesama manusia
atau makhluk lainnya: binatang, tetumbuhan dan lingkungan fisik. Melalui
Ramadhan yang bermasa 29 atau 30 hari, Allah -- sebagai bentuk konkret
kasih-sayang-Nya -- memberikan jalan: memproses pembentukan pengendalian
diri agar efektif.
Kini, sebuah urgensi yang cukup penting untuk kita
renungkan bersama adalah bagaimana merefleksikan esensi pengendalian
dalam tataran aksi publik, baik sebagai penguasa dari sektor manapun,
juga masyarakat sebagai rakyat.
Pengendalian yang kini sangat kita butuhkan adalah
bagaimana semua pihak mampu menahan diri dari sikap memaksakan
kehendaknya, padahal -- disadari atau tidak -- sikap itu sering
melanggar etika, norma bahkan hukum yang berlaku. Dalam kaitan tragedi
pengeboman Bali 12 Oktober lalu, ibadah puasa -- jika dijalankan dengan
penuh keimanan -- bakal punya makna refleksif yang sungguh signifikan.
Dalam tataran negara sebagai aktor, sikap pengendalian yang tumbuh
karena berpuasa akan mendorong pemimpin negara itu mereview lebih dalam:
sudah tepatkah mengeluarkan Perpu Anti-terorisme yang tampak
tergesa-gesa itu, padahal sekitar tiga tahun lalu atau dua tahun sebelum
tragedi WTC, Pemerintah sudah mengundang sekitar 20 pakar untuk
membahas secara intensif tentang UU Antiterorisme? Sudah tepatkah kepala
negara dan pemerintahan -- secara langsung atau tidak -- mengeluarkan
instruksi agar menangkap orang yang sangat dicurigai, yakni KH Abu Bakar
Ba`asyir, padahal dalihnya hanya pengakuan sepihak dari Umar Al-Faruq
atau hanya berdasarkan data intelegen yang bisa jadi sangat subyektif?
Juga, sudah proporsionalkah pemaksaan pemindahan Abu dari RS Muhamadiyah
di Surakarta ke RS Kepolisian di Kramat Jati (Jakarta), apalagi diawali
dengan pemecahan kaca pintu dan jendela sehingga mengganggu rasa
kenyamanan pasien bernama Abu dan sekitarnya?
Bahkan, sekalipun saat ini mulai terkuak beberapa nama
pelaku seperti Amrozy cs, Pemerintah -- melalui aparat kepolisian --
perlu mereview secara kritis: sejauh mana validitas kemungkinan sejumlah
orang yang "miskin" pendidikan itu sebagai pelaku pengeboman? Dengan
pertanyaan kritis ini, rezim pun perlu melebarkan analisinya tentang
kemungkinan keterlibatan pihak asing.
Semua perilaku politik dan hukum terhadap warganegaranya
sendiri dan itu menggambarkan emosionalitas -- karena refleksi ibadah
puasa -- sangat mungkin akan muncul kesadaran baru bagi pemimpin bangsa:
menunda pemberlakuan Perpu, apalagi banyak fraksi di DPR -- disamping
sebagian publik -- menolaknya. Penolakan itu tak lepas dari potensi
Perpu yang bakal memasung kepentingan hidup umat manusia. Dari refleksi
pengendalian itu pula sangat mungkin Pemerintah -- dengan penuh
kesadaran internalnya -- segera mengembalikan hak-hak Abu sebagaimana
layaknya orang yang tidak tersangkut hukum. Atau -- jika tetap diproses
secara hukum -- maka perlakuannya tetap mengindahkan hak dan martabat
Abu sebagaimana manusia, bukan sebagai obyek yang sering diperlakukan
sebagai binatang. Dan karena refleksi ibadah puasa itu pula, rezim atau
aparat kepolisian semakin terang dalam menyorot dugaan atau sinyalemen
keterlibatan pihak asing.
Refleksi pengendalian karena tempaan puasa akan
mendorong sang kepala negara untuk membebaskan diri dari tekanan pihak
manapun selama arahnya merugikan umat manusia lain, apalagi bangsanya
sendiri. Dalam hal ini pemimpin bangsa akan bersikap tegar dan tegas,
sekalipun sikapnya bakal menuai risiko ekonomi, misalnya. Ketegaran dan
ketegasannya tak lepas dari kesadaran yang demikian mendalam bahwa
ketertundukannya terhadap titah pihak asing berlawanan dengan spirit
cinta dan kasih sayang antarsesama manusia. Karena itu pemaksaan diri
akibat titah asing itu harus segera diakhiri.
Perubahan sikap itu relatif menggambarkan korelasi
positif ibadah puasa dalam menumbuhkan rasa kemanusiaan. Jika kemampuan
ini berhasil "dipoles", maka pengendalian yang memang dirancang melalui
puasa akan bermanfaat, bukan hanya individu muslim yang berpuasa, tapi
umat lainnya yang -- menurut kepercayaannya -- tidak diwajibkan
berpuasa.
Refleksi pengendalian itu -- jika mengena kalangan lain
yang kebetulan terlibat dalam skenario di balik tragedi Bali -- pun pada
akhirnya akan mengubah upaya destruktifnya, apalagi hanya karena
pertimbangan kekuasaan yang bersifat sangat sempit atau hanya karena
ketidakrelaan melihat tampilnya kekuasaan sipil. Destruksi itu -- sekali
lagi jika puasanya benar-benar dilakukan dengan penuh keimanan --
mereka akan mendorong para aktornya untuk mengubah perilakunya, bukan
karena kekeliruan arah dan strateginya, tapi sebuah kondisi obyektif
yang merugikan banyak pihak. Perubahan sikap yang sangat positif ini
jelaslah berpotensi besar untuk memberikan manfaat bagi umat manusia
tanpa memandang perbedaan agama, ras, bahkan batasan teritorial.
Makna konstruktif puasa itu pun idealnya harus terlihat
pada publik sebagai rakyat. Sebuah refleksi penting yang harusnya tak
boleh tiada, arus bawah pun mampu mengendalikan diri dari tindakan
emosionalitasnya. Satu hal yang perlu kita uji lebih jauh, mampukah
kalangan muslim sebagai rakyat biasa -- selama menjalankan ibadah puasa
-- menahan diri dari aksi-aksi yang berbau vandalistik, setidaknya tidak
membawa sejumlah senjata tajam yang relatif menakutkan pihak lain?
Sadarkah mereka bahwa aksi-aksi yang bernuansa barbaristik itu mencoreng
citra agamanya sendiri, sehingga Islam identitik dengan kekerasan?
Sejumlah pertanyaan yang bernada menggugat itu bukanlah
dalam kerangka mengendorkan spirit pembelaan terhadap hak
mengekspresikan keagamaan. Tapi, pembelaan yang sarat dengan simbul
kekerasan justru kontraproduktif bagi agama yang dikibarkan. Dan jika
kita memahami maksimal keberkahan Ramadhan, justru kita perlu
memanfaatkan bulan suci ini secara maksimal. Kita perlu meyakini bahwa
doa -- apalagi disampaikan selama Ramadhan dan dilakukan banyak umat --
akan didengar serius oleh Yang Maha Mendengar. Kualitas keseriusan iu
tak lepas dari kelebihan Ramadhan yang memang dijanjikan Allah itu
sendiri, yang memang berbeda dibanding bulan-bulan lainnya. Sebuah
renungan, bagaimana sikap muslim itu sendiri, apakah akan membiarkan
bulan suci ini tanpa isi, tanpa harapan ideal, atau justru sebaliknya:
mengisinya dengan penuh makna, baik bagi dirinya sendiri atau
saudara-saudara lainnya? Di sinilah umat itu sendiri ditantang
kejihadannya dalam mengekpresikan hak-hak keagamannya.
Sebuah persoalan tampak menghadang, bagaimana jika
doanya tak terkabul dan itu berarti nasib Abu atau muslim lainnya tetap
dalam tekanan akibat isu terorisme? Hal ini pun mengandung hikmah yang
mendalam: Allah barangkali sedang meningkatkan ujiannya. Hikmah ini --
secara langsung atau tidak -- mendorong kita untuk meningkatkan
introspeksi sekaligus memperbaiki sejumlah kekeliruannya. Di sana kita
saksikan spirit reformasi di balik ujian yang terus-menerus. "Janganlah
putus asa, karena sikap itu tergolong sikap dan perilaku syaitan",
demikian firman Allah. Berarti, kita memang harus tetap optimis, meski
didera banyak cobaan. Dan melalui puasa, refleksinya cukup pas untuk
menuntun kita: menjadi manusia yang bersabar dan senantiasa mampu
mengendalikan diri. Refleksi ini jelaslah berpotensi strategis sebagai
dimensi pembangunan politik kemanusiaan.***
Penulis adalah pengamat dan praktisi hukum
Sumber : http://www.pelita.or.id
Subscribe to:
Posts (Atom)