Saya
cukup tahu betapa berat bekerja sebagai peneliti indenpenden yang tidak
mendapat sokongan dalam suatu lembaga yang memayunginya. Kerja
indenpenden sunguh menguras energi, waktu, biaya, dan juga “keselamatan
diri”. Namun kerja indenpenden itu hendaknya dapat merangkul peran pihak
lain yang mau ikhlas membantu dan terlibat menyuarakan aspirasi demi
keadilan dan kemanusiaan.
Saya
mengikuti sepak terjang Eka Hindra yang memiliki jiwa berani,
konsisten, militan, dan memiliki empati terhadap persoalan hak asasi
kemanusian menyangkut persoalan tanggung jawab Militer Jepang ketika
periodesasi invasi di kawasan Asia dan Pasifik, khususnya Indonesia.
Salah satunya, riset lapangan untuk mengali kasus Jugun Ianfu di
Indonesia yang mencakup wilayah Pulau Jawa, Kalimantan, Makassar, Pulau
Buru, dan saat ini di Maluku. Dalam penelusuran itu ia mencari dan
mengkoneksikan jejaring yang dapat membantu kerjanya di lapangan. Sugguh
berat penelitian indenpenden tersebut karena ia mengerjakan sendiri
semua persiapannya. Persiapan yang dilakukan meliputi hal mendasar yaitu
waktu, mental, tenaga dan pikiran, serta finansial. Hal itu juga harus
didukung keahlian mengumpulkan data sekunder, pendekatan terhadap korban
dan lingkungannya, mencari kontak lokal, alat penunjang wawancara,
mencari transportasi, dan akomodasi yang semua dipersiapkan dengan
inisiatif sendiri. Sekali lagi tidak mudah melakukan penelitian lapangan
seperti itu, apalagi ia seorang perempuan yang posisinya lebih rentan
di banding laki-laki—tidak bermaksud menajamkan istilah jender—jika
berada di suatu lokasi atau wilayah terpencil.
Sebagai
seorang peneliti, saya juga memahfumi, bahwa riset tidak akan berjalan
tanpa ada dukungan pihak yang terlibat di dalamnya. Kerja tersebut
membutuhkan dukungan dari pihak yang dapat mem-back-up ketika
ada persoalan di lapangan. Pentingnya pengkoneksian jejaring dan
sinergisitas terletak di situ. Peneliti tidak dapat indenpenden
seutuhnya, tanpa ada aktor atau pihak lain yang membantunya. Terkait
dengan persoalan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap Eka,
GFI sebagai lembaga yang juga berkepentingan dengan isu militerisme,
internasional, kejahatan perang, politik, sosial, budaya, dan
kemanusiaan seyogyanya mengoneksikan jejaring dan kekuatan yang ada
untuk membantu Eka mengatasi persoalan tersebut—jika memang diperlukan.
Itu seharusnya berlaku bukan kepada GFI saja, namun didukung oleh
perorangan, lembaga, atau institusi lain yang konsen dan peduli terhadap
nasib peneliti perempuan dan pegiat kemanusiaan. Perorangan atau
lembaga tersebut diharapkan tergerak membantu upaya Eka untuk menguak
kebenaran melalui riset lapangan sebagai upaya pelurusan sejarah kelam
Bangsa Indonesia.
Saya
yakin dan percaya GFI sudah menempuh upaya aksi pro-aktif dengan
membantu Eka sesuai kemampuan dan kapasitas sebagai sebuah lembaga yang
konsen dengan persoalan tersebut. Jika memang GFI dapat mengadvokasi
melalui jaringan atau kontak yang dimiliki terkait dengan persoalan
tersebut, justeru hal itu yang sangat diharapkan. Sekali lagi saya
sungguh prihatin dan mengutuk pelaku atas terjadinya musibah yang
dialami oleh Eka Hindra di Maluku sebagai seorang peneliti dan aktivis
kemanusiaan. Saya mendukung upaya politik dan hukum untuk menyelesaikan
kasus tersebut secara tuntas. Hal itu agar menjadi pelajaran bahwa,
peneliti perempuan dan pegiat kemanusiaan tidak dapat dilecehkan begitu
saja oleh siapa pun—apalagi oleh kekuasaan dan oknum di pemerintahan.
Upaya-upaya
yang dilakukan Eka melalui kegiatan penelitiannya membantu menyingkap
sisi sejarah yang masih terselimut kabut. Melalui sisa waktu yang ada,
secara kemanusiaan ia menolong memasukan ianfu ke program Kemensos,
yaitu ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar). Yang memang
menurut saya, sudah semustinya peran itu dilakukan oleh negara kepada
para pelaku-pelaku sejarah (ianfu) yang menanggung beban pahit sejarah.
Temuan ianfu di Maluku ini sungguh penemuan yang sungguh luar biasa
berharga bagi pengungkapan kasus kejahatan Militer Jepang di Indonesia.
Tidak hanya itu, ianfu di Maluku menjadi sebuah data yang melengkapi
bagi perjuangan dan usaha untuk mengungkap dan menegakan keadilan untuk
kasus kejahatan Militer Jepang terhadap perempuan-perempuan di
Indonesia.
Upaya
menghalangi hal tersebut, sama saja mengingkari keadilan dan
kemanusiaan yang diperjuangkan oleh pelaku sejarah untuk bangsa dan
generasi saat ini. Untuk itu upaya-upaya seperti ini musti didukung dan
didorong terus sebagai salah satu usaha penegakan martabat bangsa yang
sudah lama tercabik. Hal itu dilakukan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan dan keadilan bagi para pelaku sejarah dan korban invasi
Militer Jepang.Oleh Anugerah Saputra, Peneliti Romusha Jepang di Indonesia
No comments:
Post a Comment