Saya pernah mengajukan beberapa pertanyaan kepada Bung Hatta, selain
untuk mengetahui hal-hal yang masih samar, juga sekaligus untuk
mengadakan semacam Psycho-test. Saya ingin mengetahui, apakah Bung Hatta
itu mempunyai perasaan dendam terhadap lawan politiknya ataukah tidak.
Seperti
kita ketahui, Bung Hatta bersahabat baik dengan Mr. Amir Sjarifuddin,
akan tetapi lantaran perbedaan politik, maka Mr. Amir Sjarifuddin
bersama Musso telah mengadakan pemberontakan melawan Pemerintah Republik
yang sah, yang kebetulan di masa itu di bawah pimpinan Bung Hatta
sebagai wakil presiden merangkap perdana mentrinya. Setelah
pemberontakan PKI/Madiun di bawah pimpinan Amir-Musso ini dapat ditindas
oleh TNI, maka pada waktu Clash Kedua, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan
dihukum mati.
Dalam hubungan ini saya mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sekitar Amir Sjarifuddin. Bung Hatta membalas
pertanyaan saya sebagai berikut:
“Saudara mengajukan pertanyaan
tentang almarhum Mr. Amir Sjarifuddin. Ini sebenarnya menghendaki suatu
analisa yang mendalam sekali dan sepintas lalu sukar memberi jawaban
yang tepat. Kalau sekiranya Amir Sjarifuddin orang biasa saja, orang
yang hanya ikut-ikutan, dapat dimengerti gelagatnya. Tetapi Amir
Sjarifuddin adalah orang yang cerdas yang mempunyai perasaan agama yang
mendalam, tetapi ia mengaku seorang komunis. Menurut cerita orang-orang
yang bertugas untuk menembaknya waktu Belanda sudah masuk di Solo, maka
ia rela ditembak dan hanya meminta supaya ia diberi izin membaca suatu
surat dari Injil. Permintaan itu diizinkan. Sikapnya ini menimbulkan
suatu pertanyaan, bagaimana seorang yang taat kepada agama masih percaya
kepada komunisme yang dia kenal sebagai gerakan anti-Tuhan. Saya
sendiri tidak bisa menjawab masalah ini. Hanya orang yang mengikuti
perjuangannya, dekat, dan kenal dengan dia sedalam-dalamnya, dapat
menjawab bagaimana Mr. Amir Sjarifuddin dapat menggabungkan dalam
dirinya agama Kristen dan komunisme. Hingga manakah komunisme itu dapat
dipakainya secara taktik belaka?… memang dalam zaman Jepang kami berdua,
Bung Karno dan saya, mendesak kepada Jepang supaya hukuman mati yang
dijatuhkan atas diri Amir Sjarifuddin diganti dengan hukuman seumur
hidup.”
Atas pertanyaan saya, benarkah Amir Sjarifuddin pernah
kirim kawat kepada Haji Agus Salim berisi perintah agar Agus Salim tidak
pernah meneruskan misinya untuk memperoleh pengakuan de facto dan de
jure dari negara-negara Timur Tengah, Bung Hatta secara jujur
mengatakan:
“Saya tidak mengetahui sedikit pun tentang kawat yang
dikirim oleh Perdana Mentri Amir Sjarifuddin (waktu itu) melalui
Setiadjid kepada H. Agus Salim di Cairo atau New Delhi. Saya tanyakan
kepada beberapa orang yang pada waktu itu di dalam Pemerintah, tapi tak
ada yang mengetahuinya. Karena itu pula tidak dapat saya menjawab
pertanyaan yang Saudara majukan dalam surat itu.”
Selain itu saya
bertanya tentang kebenaran berita bahwa Bung Hatta menyusun anggaran
dasar bagi Yayasan Soekarno dan duduknya Bung Hatta dalam Yayasan Idayu
sebagai pelindung. Atas kedua pernyataan ini, Bung Hatta membalas
sebagai berikut:
“Memang sayalah yang menyusun anggaran dasar
bagi Yayasan Soekarno atas permintaan Guntur. Saya menerima kedudukan
sebagai pelindung Yayasan Idayu karena yayasan itu aktif mengumpulkan
buku dan guntingan surat kabar yang dapat dipergunakan terutama oleh
mahasiswa dalam pelajaran mereka. Jadinya terutama untuk pendidikan.
Usaha swasta semacam itu perlu dibantu.”
Seperti diketahui
Yayasan Idayu ini didirikan untuk menghormati Ibunda Bung Karno. Nama
“Idayu” diambil dari nama beliau Ida Ayu Nyoman Rai. Dahulu yang menjadi
pelindung Yayasan ini pertama-tama Bung Karno kemudian diganti Bung
Hatta.
Dari sekretaris pribadi beliau Bapak I. Wangsa Widjaja,
saya pernah mendengar bahwa sekalipun Bung Hatta itu antikomunis, namun
pada waktu mendengar bahwa Alimin tokoh PKI nasibnya menyedihkan, maka
Bung Hatta mengirim surat kepada Perdana Menteri Wilopo untuk
memperhatikan nasib Alimin. Ini berarti bahwa Bung Hatta dapat
membedakan antara politik dan kemanusiaan.
Sekalipun lawan
politik, bila perlu, wajib ditolong dari segi kemanusiaan. Itulah
sebabnya saya pernah menanyakan kepada Bung Hatta, benarkah bahwa
seorang politikus itu adalah karakterloos? Apa jawab Bung Hatta, dengan
nada serius beliau berkata: “Siapa bilang? Seorang politikus itu harus
punya karakter. Kalau tidak punya karakter berarti tidak punya
pendirian. Itu tidak betul!”
Solichin Salam, Pribadi Manusia Hatta, Seri 10, Yayasan Hatta, Juli 2002
Sumber : http://forum.upi.edu
No comments:
Post a Comment