Pages

Kapan Indonesia Berbasis Kemanusiaan?

Oleh :LUKMAN WIBOWO
Diskursus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan persoalan yang pelik bagi banyak kalangan. Di tengah “ketakbergairahan” usaha penegakkan HAM di berbagai belahan dunia, berbagai konsep baru terus mengalir ditawarkan sebagai alternatif lain yang lebih bermakna positif. Faktanya, semua mengakui bahwa para pejuang kemanusiaan yang ada, relatif terhegemoni oleh definisi Barat sebagai cikal bakal “politik HAM” itu sendiri.
Multitafsir HAM
Hari ini—sejak 10 Desember 1948—sudah 59 tahun kita merayakan momen Hari HAM, namun pemahaman masyarakat tentangnya, masih belum tumbuh besar. Pertama, masalah itu muncul sebab belum diperolehnya pengetahuan yang objektif secara lebih luas. Pengertian HAM penuh kontroversi. Bagi para pendukungnya, HAM diyakini sebagai pondasi peradaban tanpa penindasan. Tetapi banyak tokoh menganggap sebaliknya. Mahatir Muhammad menyebut HAM sebagai propaganda human right imperialisme. Sementara Ali Alatas menyatakan tak boleh satupun negara berhak mendikte HAM (Eggi Sudjana, 1998).
Kedua, sejarah HAM yang acapkali diungkap, pada kenyataannya mengalami distorsi historis. Konsepsi HAM dilukiskan lahir sebagai akibat (by product) dari modernitas—paling jauh, setelah kelahiran Piagam Magna Charta. Padahal sejarah pengakuan hak asasi kemanusiaan oleh agama, sudah ada jauh lebih dahulu. Konsekuensinya, sebagai sebuah produk modernisasi, pembahasan tentang HAM tentu akan bernuansa politis. Setiap solusi yang ditawarkan, cenderung dipandang sinis dan curiga. Makna HAM ala Barat, acap dibarengi sikap phobia sebelum dikaji lebih lanjut.
Ketiga, upaya-upaya penegakkan HAM tidak dilakukan secara serius atau sering diwarnai berbagai bentuk paradoks dan pelanggaran. Terlebih di hadapan kekuasaan, HAM seolah tiada sama sekali.
Klimaksnya, beberapa kondisi tersebut melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya pengakuan HAM secara universal.
Sejumlah kasus
Ketika reformasi bergulir di Indonesia, harapan akan perubahan berbagai aspek, nyaris semua tertumpu padanya. Keruntuhan nasional adalah karya dari “kecacatan” pembangunanisme yang dibangun oleh kekuasaan Negara. Jatuhnya rezim yang menandai lahirnya era baru, menuntut perbaikan di seluruh lini. Salah satu gagasan yang muncul, adalah reformasi di bidang hukum dan kemanusiaan.
Ada sejumlah persoalan asasi kemanusiaan yang tak kunjung diselesaikan di masa reformasi. Ambil satu contoh saja tentang penegakkan perkara kemanusiaan (baca : HAM). Tidak kurang dari 194 kasus telah terjadi pelanggaran HAM di Indonesia (antara tahun 1995–Maret 1996). 43 kasus terjadi atas tokoh politik, 33 kasus terhadap mahasiswa, 69 kasus pencekalan, 27 kasus tentang perizinan, 38 kasus terhadap organisasi, dan 34 kasus atas kesenian.
Kemudian berbagai kasus yang terjadi di daerah seperti; pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer di Aceh 1976–1998. Pembunuhan massal 500.000–2.000.000 jiwa yang dituduh terlibat dalam gerakan PKI tahun 1965. Penangkapan di Pulau Buru 1969–1979. Penghilangan paksa dalam operasi militer di Irian Jaya 1976–1983. Pembantaian dalam peristiwa Tanjung Priok 1984. Penangkapan kelompok muslim yang dianggap terlibat dalam separatisme di Lampung 1989. Pembunuhan petani Nipah suku Madura 1993. Peristiwa Haor Koneng, Majalengka 1993. serta kasus pembunuhan di Irian Jaya tahun 1994–1995.
Ini belum lagi termasuk pelanggaran kemanusiaan, yang terjadi antara tahun 1997 sampai 1998, yang terukir sebagai sejarah hitam bangsa Indonesia, yaitu kerusuhan 14 Mei dan 13 November 1998.
Juga kasus pembantaian terhadap tokoh masyarakat berdalih dukun santet dan ninja di Banyuwangi pada akhir 1998, yang menyebabkan 84 orang meninggal dunia.
Di tahun 1999 sampai 2007 (pemerintahan paska-Orba), tercatat ratusan kasus pelanggaran HAM yang masih terjadi. Sebagian besar kasus tersebut belum ditangani secara tuntas. Misalnya pemukulan terhadap mahasiswa oleh oknum partai, pada 20 Mei 2002 di Semarang. Pelarangan mengenakan jilbab dalam foto ijazah mahasiswinya oleh sebuah Perguruan Tinggi, yang secara nyata-nyata kebijakan rektorat ini melanggar hak asasi kemanusiaan.
Peracunan terhadap demonstran anti-Sutiyoso, di Jakarta pada 2004 silam. Kisah pembunuhan Munir, kematian beberapa TKI tanpa keterangan yang jelas, hilangnya pemukiman warga akibat lumpur Lapindo, serta banyak lagi. Tidak terkuaknya kasus-kasus semacam inilah yang pada akhirnya membentuk mosi masyarakat akan matinya HAM di negara ini.
Dalam pada itu, yang sungguh mengejutkan, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 8 Desember 2006. Akibatnya, kita tak bisa mengungkap kasus-kasus kejahatan HAM berat sejak tahun 2000 ke bawah, setidaknya yang terjadi selama 32 tahun dalam kekuasaan Soeharto
Kemanusiaan dan hukum
Kondisi penegakkan HAM maupun asas dan etika kemanusiaan yang setengah hati, kian memperlebar jarak antara nilai kemanusiaan dan pelanggarannya itu sendiri. Memuliakan hak-hak dasar manusia, menjadi perkara yang amat berat, karena sistem di Indonesia tidak merdeka dari kekuatan modal dan politik suatu “kelompok mafia” atau rezim tertentu.
Dengan pengertian lain—menurut Talcott Persons (2003)—bahwa ketika berbicara mengenai HAM, maka itu akan terkait erat dengan subsistem yang lain, seperti hukum, ekonomi dan teknologi, politik, sosial, dan kebudayaan. Perubahan yang terjadi pada salah satu komponen tersebut, jelas akan berpengaruh terhadap komponen yang lain, terutama dimensi HAM itu sendiri.
Dalam konteks keindonesiaan, lemahnya aktualisasi penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan, tentu sangat mengenaskan, mengingat negara ini merupakan negara hukum. Melalui usaha penegakkan supremasi hukum, diharapkan seluruh aspek-aspek kehidupan bangsa mampu diperbaiki sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila: Indonesia berbasis kemanusiaan yang adil dan beradab.
Penulis adalah dosen AKP Widya Buana, Semarang.
Artikel refleksi Hari HAM ini dimuat di Koran WAWASAN 10 Desember 2007

Sumber :  http://insanlimacita.wordpress.com

No comments:

Post a Comment