Tanpa mengurangi makna headline Koran Seputar Indonesia
(Koran Sindo) edisi mingu, 10 Februari 2007 tentang Pencanangan Gerakan
Membaca Koran yang dihiasi dengan foto Bapak Presiden SBY saat membaca
Koran Sindo di mimbar kepresidenannya, perkenankan saya hadir untuk
mengomentari tulisan di halaman lain denga berbagai pertimangan atau
alasan. Pertama, sebagai pembaca Koran Sindo ternyata ada persamaan
rubrik kegemaran diantara sesama pembaca setia (termasuk Pak SBY) yaitu
berita sepakbola. Sedang alasan kedua, karena percaturan politik saat
ini di tanah air, memang belum menggemingkan minat saya untuk
mengomentarinya.
Semoga pembenaran saya sudah dirasa cukup untuk hadir dengan,
mengembangkan pemikiran yang diilhami isi pada halaman 16 tentang
resensi buku yang berjudul Seruan Azan dari Puing WTC dari Imam Feisal
Abdul Rauf .
Paska tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC)
tanggal 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluarkan
pernyataan kontroversial “war and terror” yang dalam prakteknya
mendeskreditkan umat Islam, seolah sebagai pelaku dan penyebar teror.
Walaupun hal ini telah disanggah pihak AS, dengan serentetan siaran
radio dan televisi produksi Voice Of Amerika (VOA) dengan menyiarkan
kondisi umat Islam di AS yang hidup aman, damai serta non diskriminatif
sampai saat ini.
Melalui resensi buku yang ditulis oleh Mohamad Asrori Mulky,
diungkapkan pemikiran Imam Feisal selaku Imam besar masjid AL Farah,
tentang kemunculan citra negatif terhadap Islam di AS, yang tidak
sepenuhnya disebabkan oleh sentimen negatif pihak nonmuslim yang salah
dalam melihat substansi Islam. Sebagian kecil umat Islam yang
berperilaku agresif terhadap umat beragama lain, dipandang memiliki
kontribusi positif terhadap pencitraan Islam itu sendiri di AS. Meskipun
citra negatif karena hal tersebut bukanlah bersifat monotype, mengingat
banyak faktor lain yang juga menjadi penyebab seperti faktor politik
yang dengan sengaja membangun dukungan dan kekuatan masa di dalam maupun
di luar AS melalui “penciptaan musuh bersama” yaitu terorisme yang
telah diidentikkan dengan Islam.
Memang sekecil apapun esensi kebijakan publik suatu negara, pasti akan
menimbulkan pengaruh terhadap warna politik luar negeri dari negara
bersangkutan, dan itulah yang terjadi pada pemerintah AS saat ini,
seperti yang ditulis oleh Rahmadya Putra Nugraha dalam penelitian
ilmiahnya yang berjudul “Upaya Diplomasi Publik VOA ke Indonesia
terhadap citra AS” (Prof.DR.Moestopo University, 2008).
Yang menarik dari pemikiran Imam Feisal adalah, upayanya untuk
menjembatani adanya pelurusan terhadap miskonsepsi nilai-nilai dari
ajaran Islam, melalui dialog yang bersandar pada tiga pilar yaitu iman,
peradaban dan kebudayaan. Setidaknya ada dua argumentasi utama yang
membingkai preambule dukungan terhadap dialog tersebut yaitu; pertama,
adanya akar yang sama sebagai elemen dasar tuntunan agama Yahudi,
Kristen dan Islam sendiri yaitu etika Ibrahim. Ketiga agama tersebut
memang mengakui keberadaan tuntunan Nabi Ibrahim, sebagai pendahulu yang
sekaligus mengajarkan untuk senantiasa mencintai Tuhan, serta sesama
umat manusia tanpa melihat perbedaan ras, agama ataupun latar belakang
budayanya. Hal yang kedua, adanya kesamaan mendasar antara nilai-nilai
Islami dengan nilai-nilai dasar Konstitusi AS yang menekankan prinsip
kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan manakala Imam Feisal sebagai
warga AS yang berkeyakinan Islam dan secara faktual adalah kaum
minoritas, menyatakan hal itu sebagai suatu fakta kebenaran dan tidak
semata-mata sebagai upaya pembenaran.
Di Indonesia tercinta, lebih menarik lagi dengan adanya hal yang
sama seperti di atas, namun hal itu justru dilakukan oleh pimpinan umat
nonmuslim, yang dengan gigih melakukan pengembangan dialog antar agama
agar memperoleh eksistensi ke”warga negara”annya melalui perolehan
perlindungan serta perlakuan secara adil sebagai sesama hamba Tuhan.
Bukankah Muhammad Rasulullah sendiri mencontohkan kepada pengikutnya
untuk menghormati hamba Tuhan nonmuslim saat bertamu, dengan menyediakan
fasilitasi melakukan ritual keyakinan agama lain di rumah beliau.
Bahkan Tuhan-pun telah berfirman untuk menghormati adanya perbedaan
keyakinan beragama tersebut dengan “lakum dinukum waliyadhin” (bagimu
agamamu dan bagiku agamaku).
Hakekat dari pemikiran secara fundamental terhadap
tulisan saya ini adalah, hubungan kemanusiaan yang bernilai serta
berbobot humanism-kulturalism antara sesama hamba Tuhan adalah menjadi
kewajiban kita semua untuk menghormatinya, namun tidak harus dengan
melakukan ritual agama secara bersama, karena memang hakekatnya Tuhan
telah menciptakan adanya perbedaan tersebut sebagai rahmat, dan bukan
sebagai pemecah belah, apalagi pemusnah antar sesamanya. Dan selayaknya
kebijakan publik yang dijalankan melalui komunikasi publik suatu negara,
juga bertujuan pada nilai-nilai kemanusaan yang sama.
Secara lugas dan terbuka perlu disampaikan bahwa memang Tuhan tidak
menciptakan “Agama Bersama” bagi hamba-hambaNya, karena dengan
keberbedaan yang ada, kita justru dapat hidup “bebas dan merdeka dalam
beragama, serta saling menghormatinya”, bukankah Tuhan yang Maha Tahu
tentang kebaikan dibalik semua hal ini.
Itulah hakekat sebenarnya dari kemanusiaan yang adil dan beradab.
Darsana Setiawan,
Pengamat pendidikan, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta.
Sumber : http://edukasipress.wordpress.com
No comments:
Post a Comment