Rakyat Indonesia mengenalnya sebagai
seorang guru dan pemimpin organisasi Islam terbesar di zamannya yang
bernama Serikat Islam. Beliau terlahir dari keluarga priyayi Ponorogo
pada tanggal 16 Agustus 1882 di Desa Bukur Madiun, Jawa Timur. Ia
terlahir dengan nama kecil Oemar Said. Sesudah menunaikan ibadah haji ia
meninggalkan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri
dengan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau lebih dikenal H.O.S
Tjokroaminoto. Gelar ’Raden Mas’ baginya adalah merupakan hak yang dapat
dipergunakannya, sebagaimana ningrat-ningrat lainnya, sebab dalam
dirinya mengalir darah ningrat, bangsawan dari Surakarta, cucu
Susuhunan. Tjokroaminoto adalah keturunan kyai ternama yaitu Kyai Bagoes
Kesan Besari. Seorang ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa
Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, Jawa Timur yang
kemudian memperistri seorang putri dari Susuhunan II. Dengan
perkawinannya itu, dia menjadi keluarga Keraton Surakarta (Anhar
Gonggong,1985, H.O.S Tjokroaminoto).
Pada awalnya, Tjokroaminoto juga
mengikuti jejak kepriyayian ayahnya . Tjokroaminoto adalah alumni
Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Karena
termasuk kaum bangsawan, Tjokro bisa mengenyam pendidikan di sekolah
Belanda yang menyetak pegawai-pegawai pemerintah kolonial itu. Lulus
dari OSVIA, pada 1902, Tjokroaminoto bekerja sebagai pejabat pangreh
praja atau juru tulis di kesatuan pegawai administratif bumiputera di
Ngawi meskipun pada akhirnya ia mengundurkan diri dari jabatannya pada
tahun 1905 sebagai bentuk penolakannya terhadap budaya feodal sembah
meyembah dan politik elitis yang terjadi didalamnya. Untuk menyambung
hidupnya, Tjokroaminoto kemudian menjadi kuli pelabuhan yang kelak
membuatnya bertemu banyak pekerja kelas bawah dan menyadarkan kesadaran
politik proletarnya samapai akhirnya membentuk “Serekat Sekerja” dengan
tujuan untuk mengakat harkat para kelas pekerja.
Merasa sulit berkembang di kota Semarang,
ia kemudian memutuskan pindah ke Surabaya. Di kota Surabaya ini ia
bekerja pada sebuah firma yang bernama Kooy & Co. Disamping bekerja
beliau juga tidak lupa meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1907-1910, dia mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S
(Burgerlijke Avond School). Setelah menamatkan sekolahnya di B.A.S,
agaknya Tjokroaminoto sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskan
pekerjaannya di perusahaan dagang tersebut. Kemudian ia berhenti dan
bekerja sebagai leerling machinist selama satu tahun lamanya
yaitu dari tahun 1911 sampai 1912. Kemudian ia pindah bekerja lagi ke
sebuah pabrik gula, Rogojampi Surabaya di dekat kota Surabaya sebagai
seorang chemiker (Amin, 1995. H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, ).
Diantara banyak pekerjaan yang
dilakoninya, tampaknya pekerjaan sebagai jurnalistik yang ia nikmati dan
memberikannya banyak ruang exploirasi melalui sebuah surat kabar di
kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya. Bakatnya ini semakin tampak jelas
semasa ia menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam
Indonesia) dimana ia mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan
mingguan serta majalah, yaitu surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar
Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad. Pada semua penerbitan itu ia selalu
menjadi pemimpin redaksi. Ia memang menyadari fungsi surat kabar dan
majalah sebagai salah satu alat perjuangan (Amelz, 1952. HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya ).
Di dunia pergerakan, sementara tetap
mencari nafkah, Tjokroaminoto tetap membangun jaringan organisasi dan
sembari belajar hingga terbentuknya kepengurusan Syarikat Islam (SI)
pada 1912 yang kemudian menunjuk Tjokro sebagai pemimpin cabang Surabaya
dan menjadi cikal bakal pergerakannya dalam perjuangan nasional.
Prestasi perdana Tjokro adalah ketika ia sukses menyelenggarakan
vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu
dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang
anggota. Kongres resmi perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret
1913 di Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI
mendampingi Hadji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua itulah Tjokro
mulai menanamkan pengaruhnya hingga pada usia 35 tahun, Tjokroaminoto
mencapai puncak karirnya sebagai pemimpin Sarekat Islam selama beberapa
periode.
Tahun 1920 ketika Belanda melihat gerak
Tjokroaminoto yang semakin membahayakan, ia dijebloskan ke penjara
dengan tuduhan menghasut dan mempersiapkan pemberontakan untuk
menggulingkan pemerintah Belanda. Pada April 1922, setelah tujuh bulan
meringkuk di penjara, ia kemudian dibebaskan. Tjokroaminoto kemudian
diminta kembali untuk duduk dalam “Volksraad” atau Dewan Rakyat, namun
permintaan itu ditolaknya karena ia sudah tak mau lagi bekerjasama
dengan pemerintah Belanda.
Sementara beliau dipenjara, bebrapa
mudridnya mengalami selisih paham, Samaun pimpinan SI cabang Semarang
terpengaruhi faham Marxis akbiat kedekatanmnya dengan salah seorang
sosialios radikal dari belanda yakni Snevlieet yang kelak mendirikan
ISDV sebagai cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Kartosuwiro
mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno.
Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan
murid Tjokro. Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan
Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam
Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid
Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh
para muridnya.
Seringlah terjadi perdebatan yang sengit
antara Samaun dan H. Agus Salim pengganti sementara di SI selama
Tjokroaminoto uzur. Dalam Kongres Nasional IV disepakati untuk adanya
disiplin Partai yaitu tiap-tiap anggota SI tidak memiliki 2 aliansi
yakni Serikat Islam putih yang masih mempertahankan nilai Islam dan
Serikat Islam merah yang banyak mengadpatsi niali-nilai komunis. Maka
Samaun pun terkena disiplin Partai. Maka terbendunglah rencana PKI untuk
memerahkan SI. apalagi setelah keluarnya Tjokroaminoto dari penjara
yang dapat memulihkan kerancuan dan perpecahan dikalangan Serikat Islam.
Serangkain sejarah dan perjalanan hidup
pergerakannya, Tjokroaminoto adalah guru dari banyaknya pejuang
kemerdekaan Indonesia, banyak orang berkata bahwa seandainya Soekarno
tidak pernah berkunjung dirumanhnya dan berguru padanya maka Soekarno
tidak akan menjalani perjuangan dalam merbut kemerdekaan Indonesia,
Musso yang kemudian kita kenal sebagai salah satu pemimpin Partai
Komunis Indonesia dan Kartosuwiryo yang agamis dan penggerak gerakan
islam di Indonesia meskipun diantara mereka terkadang saling berselisih
yang pada akhirnya sejarah melihat bahwa mungkin Soekarnolah yang
mungkin mendapatkan banyak pelajaran dan mampu menterjemahkan
nilai-nilai perjuanagan Tjokroaminoto melalui ideolgi perjuangan Nasakom
akan tetapi dari merekalah warna bagi sejarah pergerakan Indonesia.
Sosialisme Islam: Sebuah Gagasan Politik Kemanusiaan
Tahun 1924, HOS Tjokroaminoto menulis
buku “Islam dan Sosialisme”. Sekaligus menjadi karya terbesar pemikir
islam revoluisoner pada zaman itu. Ide menulis buku tersebut berangkat
dari pergoalatan pemikiran Tjokroaminoto dalam konteks zaman itu ketika
bangsa Indonesia dalam upaya untuk memilah-milah ideologi yang cocok
untuk perjuangan nasional Indonesia. Ide Sosialisme-Islam tjokroaminoto
banyak dipengaruhi oleh kemunculan ideologi barat seperti Sosialisme,
Kapitalisme dan Liberalisme.
Gagasan awal Tjokro yang banyak dibentuk
dari perjalan hidupnya yang banyak bersentuhan dengan kelas pekerja dan
kaum proletar lainnya sehingga baginya penting untuk memnemukan sutau
ideology gerkan yang mampu menjelaskan nilai dasar, arah dan metode
perjuangan, meskipun pada kenyataannya ide Sosialisme–Islam masih sangat
abstrak untuk diterapkan ditengah kondisi masyarakat indoensia yang
menginginkan idelogi yang praktis dan jelas seperti ideoligi komunis
atau sosilisme seutuhnya.
Buku “Islam dan Sosialisme” karangan
Tjokroaminoto memuat beberapa pembahasan dalam meletakkan posisi Islam
dan ideologi sosialisme sebagai sebuah sumber pengeathaun yang
membebaskan. Pembahasan menyangkut kaitan nilai dasar Sosialisme yang
menginginkan adanya kolektifitas dan kesamarataan dalam berbagai lingkup
hak hidup dan hal tersebut oleh Tjokroaminoto selaras dengan nilai
Islam yang merupakan rahmat bagi semesta alam yang adil. Tjokroaminoto
memahamai nilai –nilai Islam dalam konteks kehidupan bangsa Arab pra
Islam sebelum Nabi Muhammad, misi Nabi Muhammad yang bersifat sosialis,
sikap sosialis sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Dan segala gambaran
tentang kesamarataan dalam kehidupan yang dipedomani oleh nilai Islam
yang kelak akan membentuk imperialisme muslim (Lebih lanjut : H.O.S.
Tjokroaminoto. Islam dan Sosialisme ).
Dalam buku tersebut, Tjokroaminoto
memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan apakah sosialisme Islam itu.
Menurutnya, sosialisme Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut
dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan
sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Lebih jauh dia menjelaskan, “Cita-cita
sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya dan tidak
boleh dikatakan terbit daripada pengaruhnya bangsa Eropah. azas-azas
sosialisme itu telah dikenal di dalam pergaulan hidup Islam pada
zamannya Nabi kita, Muhammad SAW.”
Islam menurut Tjokroaminoto adalah
pedoman perlawanan dalam menentang dominansi, Islam datang di muka bumi
tidak sebagai “tuhan material” baru seperti tuhan para kaum agama
terdahulu akan tetapi Islam datang dengan membawa pengetahuan yang
objektif tentang bagaiman kita semestinya menjalani hidup dan bekerja di
bawah pedoaman akan iman kepada-Nya. Segala rukun Islam pada dasar
adalah nilai kesamarataan dalam kehidupan, tidak ada manusia mendominasi
manusia yang lain dengan keyakinan yang teguh bahwa Tuhan hanya satu
dan para umat manusia di muak bumi hendaknya saling menghargai
semata-mata untuk mendapatkan rahmat dari tuhan. Nilai kesamaraatn Islam
inilah yang menjadi poin penting dalam menempatkan politik kemanusiann
sebagai solusi dari penindasan di muka bumi.
Dalam berbagai aspek hak hidup mulai dari
hak ekonomi, sosial dan politik menurut Tjokroaminoto ada dalam ajaran
Islam , Islam secara tegas mengharamkan riba dan akumulias modal sebagai
mana yang dilakukan oleh Kapitelisme sehingga dalam Islam kita mengenal
konsep share capital atau bersedekah agar tidak ada akumulasi modal
disatu titik dan semua orang meras menjadi bagian dari hak ekonomi
tersebut. Tjokroaminoto menulis dalam bukunya terkait ini “Menghisap
keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaannya lain
orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang mestinya (dengan
seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan
keuntungan itu, –semua perbuatan yang serupa ini, oleh Karl Marx disebut
memakan keuntungan “meerwaarde” atau nilai lebih adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan “riba” belaka,”.
Dalam aspek social, menghargai umat
manusia sederajat dengan yang lain adalah poin besarnya dalam menlihat
dan bergaul dengan masyarakat sekitar kita agar terhindar dari
kesombongan sosial yang kelak akan memunculkan mental antipati terhadap
manusia yang lain karena ketika itu terjadi maka kita secara tidak sadar
kita telah berada dalam lingkaran mahluk individual yang dibenci oleh
Islam.
Dalam politik, ide Islam dan
Sosialismenya Tjokroaminoto juga berusahan menjelaskan bagaimana sebuah
pemerintahan yang berbasis agama itu hendaknya menjadi tujuan utama,
berangkat dari pengalaman kemanangan umat Islam di Timur Tengah seperti
yang dijalan oleh Kemal Attaturk yang diidolakan oleh Tjokroaminoto
dalam menlawan pemerintahan sekuler yang terbukti gagl dalm membawa
kesejahteraan bagi masyarakatnya, keyakinan sekuler dalam pemerintahan
berkayikan untuk memisahkan persoalan agama dalam kehidupan politik dan
tidak saling mencampuri sehingga seolah-olah berpolitik bukanlah
bertujuan untuk mencari rahmat-Nya. Hal lain dalam aspek ini ialah untuk
menghindari penghianatan akan niai politik yang idealnya untuk mencari
kemaslahtan umat bukan untuk saling membodohi, mencedeari bahkan
mengekspolitasi sesama umat manusia, menempatkan dan melihat manusia
berdasrkan keuntungan semata seolah-olah barang dagangan yang sangat
dibenci oleh Islam.
Menurut Tjokroaminoto, dasar sosialisme
yang diajarkan Nabi Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal
ini tampak dalam pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham
sosialisme ada 3 anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty),
persamaan (gelijk heid-equality), dan persaudaraan
(broederschap-fraternity)”. Nilai inilah yang oelh Tjokroaminoto
dipercaya sebagai nilai yang mampu menciptakan kondisi kolektifitas
dalam berbagai aspek untuk meraih kemenangan termasuk dalam perjuangan
nasional Indonesia.
Umat Islam harus mengambil pelajaran dari
tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan menentang
perbudakan. Nabi mengatakan, “Tentang budak-budakmu berilah makan
padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah pakaian padanya
seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak dapat
memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan mereka.
Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku
baik-baik kepada mereka.” Hal tersbut dapat diterjamahkan sebagai upaya
untuk menghilangkan penjajahan yang terjadi di Indonesia dengan cara
membangun kesadaran mayarakatnya untuk melawan.
Kemunculan ide Tjokroaminoto mengenai
Islam dan Sosialisme bukan berarti tanpa kendala, beberapa tokoh Islam
dan masyarakat Indonesia pada waktu itu banyak melihat ide Tjokroaminoto
masih sangat abstrak dan terkesan memaksakan ideologi Sosialisme yang
lebih dikenal karena keterkaitannya dengan Komunis yang dianggap atheis.
Pandangan tersbut banyak muncul dari golongan Islam konservatif masih
melihat Tjokroaminoto dalam proses mempelajari Islam seutuhnya, para
golongan tersebut adalah variasi golongan umat islam di Indonesia saat
itu yang mulai terpecah-pecah stelah banyaknya konflik organisasi dan
kemunculan organisasi baru umat islam lainnya yang menhendaki adanya
persatuan umat islam yang murni
Kemunculan ide Tjokroaminoto mengenai
Islam dan Sosialisme bukan berarti tanpa kendala, beberapa tokoh Islam
dan masyarakat Indonesia pada waktu itu banyak melihat ide Tjokroaminoto
masih sangat abstrak dan terkesan memaksakan ideologi Sosialisme yang
lebih dikenal karena keterkaitannya dengan Komunis yang dianggap atheis.
Pandangan tersebut banyak muncul dari golongan Islam lain yang masih
melihat Tjokroaminoto dalam proses mempelajari Islam seutuhnya, para
golongan tersebut adalah variasi golongan umat islam di Indonesia saat
itu yang mulai terpecah-pecah stelah banyaknya konflik organisasi dan
kemunculan organisasi baru umat islam lainnya yang menhendaki adanya
persatuan umat islam yang murni.
Tjokroaminoto bukanlah tokoh Islam yang
gampang jatuh, bersama umat Islam dari kelompok reformis lainnya
termasuk dari tokoh Agus Salim dan beberapa tokoh Muhammadiah beliau
menlncarkan banyak program kerja yang bertujuan untuk menghilangkan
upaya dominasi colonial dalam mengatur kehidupan umat islam di
Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sosok Tjokroaminoto adalah orang
mampu menciptakan persatuan di antara semua golongan seperti yang pernah
ia alami ketika meminpin Serikat Islam yang saat itu sedang mengalami
perpecahan antara Serikat Islam yang bertetapan untuk nilai Islam murni
atau Serikat Islam putih dan Serikat Islam yang mulai tercampur dengan
ajaran komunis atau Serikat Islam merah.
Terlepas dari segala kontroversi dan
pergulatan idenya, tokoh Tjokroaminoto telah menjadi tokoh islam yang
memulai gagasan politik yang berbasis agama dan mengedapankan pembebasan
secara utuh bagi masyarakat Indonesia sehingga kelak bangsa ini akan
meraih kemrdekaannya secara utuh di jalan yang dirahmati oleh ajaran
Islam dan cita-cita kolektif berasma dapat tercapai bagi generasi
selanjutnya.Penulis :
No comments:
Post a Comment